Home » , » Asuhan keperawatan pada anak dengan DIFTERI

Asuhan keperawatan pada anak dengan DIFTERI


A.    PENGERTIAN
     Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernapasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudomembran (Ngastiyah, 2005).
     Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae (Rampengan, 1993).
     Difteri adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil gram positif (WHO).
     Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun (Detik Health).
     Difteri adalah suatu infeksi yang akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik corynebacterium diphteriae (Medicas).

B.    ETIOLOGI
Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ÂșC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air susu, dan lendir yang telah menngering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o    Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o    Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.


C.    PATOFISIOLOGI
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat, produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas.

D.    MANIFESTASI KLINIS
     Gejala umum yang timbul berupa:
o    Demam tidak terlalu tinggi
o    Lesu dan lemah
o    Pucat
o    Anoreksia
     Gejala khas yang menyertai:
o    Nyeri menelan   
o    Sesak nafas
o    Serak
- Gejala local    : nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengakakan pada kelenjar regional, sesak napas, serak sampai stridor jika penyakit sudah pada stadium lanjut.Gejala akibat eksitoksin tergantung bagian yang terkene, misalnya mengenai otot jantung terjadi miokarditis dan bila mengenai saraf terjadi kelumpuhan. Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
E.    PATHWAY

Corynebacterium dinipteriae

                Baksil menempel di mukosa saluran napas bagian atas, kulit, mukosa genital

Menghasilkan toksik yang di absorbsi membrane sel

              Penetrasi dan inferensi dengan sintesa protein bersama sel kuman penghasil NAD (Nicotinamide Adenine Dinukleotida)

Asam amino dan RNA memperpanjang rantai polipeptida

Nekrosa sel menyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat

Produksi toksin meningkat dan daerah infeksi makin meluas

Eksudat fibrin perlengketan, membentuk membran

Apabila diangkat terjadi perdarahan

                                                                               Difteri

                         Sesak nafas                                 Susah makan               Lemah fisik









F. KLASIFIKASI
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
•    Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
•    Difteri faring dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
•    Difteri laring dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
•    Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.



G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.    Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
     Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.
Pemeriksaan Diagnostik
•    Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
•    Pada urine terdapat albuminuria ringan.

H.    PENULARAN
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak anak. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.




I.    PENCEGAHAN
1.    Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negatif.
2.    Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi terhadap difteri.
3.    Imunisasi
Penurunan drastis morbiditas diftery sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 – 2 tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml tiap kali pemberian.
Cara Pencegahan
1)       Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2)       Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3)       Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a)    Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b)    Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4)       Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
5)       Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.
Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1)   Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
2)       Desinfeksi serentak:  Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
3)       Karantina:  Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
4)       Manajemen Kontak:  Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
5)       Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat.Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.

J.    KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul:
1.    Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus. Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan dengan kuman streptokokus.
2.    Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas. Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan atelektasis.
3.    Sistemik
    Miokarditis
Sering  timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.
    Neuritis
Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:
    Timbul setelah masa laten
    Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada sensorik
    Biasanya sembuh sempurna.
    Nefritis
4.    Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini dapat berupa:
    Paralysis palatum molle
    Manifestasi saraf yang paling sering
    Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan regurgitasi hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada minggu 1-2
    Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
    Ocular palsy
    Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralysis dari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang kena ialah m. rectus externus.
    Paralysis diafragma
    Dapat terjadi pada minus 5-7
Paralisis ini disebabkan neuritis n. phrenicus dan bila tidak segera diatasi penderita akan meninggal.
    Paralysis anggota gerak
•    Dapat terjadi pada minggu 6-10
•    Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, refleks tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip dengan sindrom guillian barre.



Prognosa:
Sebelum adanya antioksitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50%. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10%. Prognosa tergantung pada:
1.    Usia
Makin rendah makin jelek prognosa.
2.    Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin. Nelson (1959) menyebutkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama sakit mortalitasnya 0,3%; pada hari ketiga 4%; pada hari keempat 12%; dan hari kelima dan seterusnya mortalitasnya 25%.
     Pada saluran pernafasan
Terjadi obstruktif jalan nafas dengan segala akibatnya,bronkopneumonia,atelektasis.
     Kardiovaskuler
Miokarditis yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman diftera.
     Kelainan pada ginjal (nefritis).
     Kelainan saraf
Kira-kira 10% pasien difteri mengalami komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama motorik.
a.    Paralisis/ paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau ), tersedak/ sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu I-II.
b.    Paralisis/ paresis otot-otot mata dapat menyebabkan strabismus,gangguan akomodasi, dilatasi pupil, timbul pada minggu III.
c.    Paralisis umum yang dapat terjdi setelah minggu IV. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernapasan.

K.    PENATALAKSANAAN
1.    Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
        Pengobatan spesifik untuk difter :
- ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
- Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
- Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan spesifik:  Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
2.    Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
     Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
-    Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk.
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang).
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat terjadi.
-    Miokarditis.
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
- Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan dicatat secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin menurun (bradikardi) harus segera menghubungi dokter.


Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum :
a. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
b.    Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh bangun).
-    Komplikasi yang mengenai saraf.
Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum air/susu akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :
a.    Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b.    Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit demi sedikit.
-    Komplikasi pada ginjal.
Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.
     Gangguan masukan nutrisi.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia mau makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3 hari kemudian sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba makan per oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan minum yang sering untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu kelancaran eliminasi
ASUHAN KEPERAWATAN
PENYAKIT DIFTERIA PADA ANAK

I.    PENGKAJIAN
    Pernapasan.
-    Sulit bernapas.
-    Produksi sputum meningkat.
-    Dspneu.
-    Pada tenggorakan ada luka.
-    Edema mukosa.
-    Pembesaran kelenjar getah bening.
-    Pernapasan cepat dan dangkal.
-    Penggunaan otot bantu pernapasan.
-    Terdengar wheezing (auskultasi).
    Nutrisi
-    Tidak nafsu makan.
-    Sulit menelan.
-    Turgor kulit menurun.
-    Berat badan menurun.
-    Edema laring,faring.
    Aktivitas
-    Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
-    Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing.
-    Fatique.
-    Insomnia.
    Sirkulasi
-    nadi meningkat (takikardi).
-    Aritmia.
    Interaksi Sosial
-    Merasa tergantung.
-    Pembatasan mobilitas fisik.
Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi :
o    Difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah.
o    Difteri faring dan tonsil, terlihat pembengkakan kelenjar leher. Juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
o    Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya tetapi tidak nyeri.

Data penunjang :
     Laboratorium    : apusan tenggorok terdapat kuman corynebacterium difteri.
     EKG        : low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbaik.

II.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)    Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Disfungsi Neuromuskular.
2)    Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
3)    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.

III.    INTERVENSI
DX 1    : Pola napas tidak efektif berhubungan dengan Disfungsi Neuromuskular.
Tujuan    : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola napas pasien kembali normal.
NOC    : Respiratory status ; Airway potency.
Kriteria Hasil     :
1.    Suara nafas bersih, tidak ada sianosis, dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan baik).
2.    Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal).
3.    tanda- tanda vital dalam rentang normal.

Indicator Skala :
1. tidak pernah menunjukkan.   
2. jarang menunjukkan.
3. kadang menunjukkan.
4. sering menunjukkan.
5. Selalu menunjukkan.
NIC    :  Airway management
Intervensi    :
1. Buka jalan nafas, gunakan tehnik chin lift.
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suaran nafas tambahan.
5. Monitor respirasi dan status O2.
6. Berikan antibiotik.

DX 2    : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Anoreksia
Tujuan    : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan BB stabil,pasien bebas dari tanda-tanda malnutrisi dan pasien dapat mengumpulkan energi untuk beraktivitas kembali.
NOC    : Nutritional status:food and fluid intake.
Kriteria Hasil     :
1. Asupan nutrisi.
2. Asupan makanan dan cairan.
3. BB meningkat.
4. Kekuatan dapat terkumpul kembali.
5. Stamina
Indicator Skala :
1. tidak pernah menujukkan               4. sering menunjukkan      
2. jarang menunjukkan            5. Selalu menujukkan
3. kadang menunjukkan
NIC    : 1. Nutrition Management  2. Nutrition terapi
Intervensi    :
NIC I
1.    Kaji BB
2.    Berikan makanan tinggi kalori untuk peningkatan energi.
3.    Berikan makanan tinggi Na.
4.    Tingkatkan makanan yang mengandung protein,vitamin dan besi apabila dianjurkan.
NIC II
1.    Berikan lingkungan nyaman pada saat pasien makan.
2.    Lakukan perawatan mulut sebelum pasien makan.
3.    Sediakan makanan yang menarik untuk pasien agar pasien merasa tertarik.
4.    Ajari pasien dan keluarga tentang diet yang harus diberikan.

            Dx 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi intoleransi aktivitas.
NOC : Activity Tolerance
Kriteria Hasil :
•    Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR.
•    Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri.
Keterangan Skala :
1 : Tidak dilakukan sama sekali.
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Activity Theraphy
Intervensi :
•    Kolaborasi dengan tenaga rehabilitas medik dalam merencanakan program terapi yang tepat.
•    Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan.
•    Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.
•    Bantu klien membuat jadwal latihan di waktu luang.

IV.    EVALUASI
    Dx 1
Kriteria Hasil     :
•    Suara nafas bersih, tidak ada sianosis, dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan baik) (skala 5).
•    Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) (skala 5).
•    Tanda- tanda vital dalam rentang normal (skala 5).

    Dx 2
Kriteria Hasil :
•    Asupan nutrisi (skala 5).
•    Asupan makanan dan cairan (skala 5).
•    BB meningkat (skala 5).
•    Kekuatan dapat terkumpul kembali (skala 5).
•    Stamina (skala 5).

    Dx 3
Kriteria Hasil :
•    Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR (skala 5)
•    Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
(skala 5).
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.

Doengoes,M.E. 1999. Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Http://www.medicastore.com

Http://www.google.com

Jhonson,Marion,dkk. 1997.  Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC) Edisi 2.  St. Louis ,Missouri ; Mosby.

Mc    Closkey,   Joanner.    1996 .   Iowa      Intervention     Project Nursing   Intervention   Classification    (NIC)   Edisi   2.    Westline   Industrial   Drive,  St. Louis :Mosby.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.

Santosa,Budi .  2005  -  2006.    Diagnosa    Keperawatan     NANDA .    Jakarta : Prima Medika.

Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.

Suradi, SKp. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 1. Jakarta : PT Fajar Interpratama.




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di My Documentku

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda Copy-paste di blog or web teman-teman semua, Jangan Lupa di Like or commentnya ya...
Terima kasih

 
© 2010-2012 My Documentku