Tampilkan postingan dengan label Materi kuliah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Materi kuliah. Tampilkan semua postingan

Download Kamus Istilah Keperawatan gratis

Pada sore nan cerah di langit Purwokerto, saya akan sharing tentang Ebook Keperawatan yang pertama saya buat dari pada Stress mikirin UAP yang bikin Otak syok berat, akral dingin, sampai peningkatan Tekanan Darah. Ebook ini masih jauh dari kesempurnaan dan saya menyarankan hanya untuk tambahan materi atau pedoman kuliah teman-teman jangan samakan dengan Dorland.hehehe

Tapi bila teman-teman minat bisa sedot aja langsung ke TKP

Tunggu 5 detik klik Skip di pojok kanan atas

WOW!!! KAMUS KEDOKTERAN GRATIS KLIK DISINI


Transfusi Darah

Transfusi Darah 
Oleh :
Diana Kusumawati S.Kep.Ns
TERAPI DARAH DAN KOMPONEN DARAH
 A. Syarat-syarat pendonor darah :
Berat badan harus lebih dari 50 Kg untuk donor standart 450 ml. donor yg berat badannya kurang dari 50 kg hanya boleh mendonorkan sesuai dgn berat badannya
Suhu tidak boleh melebihi 37,5 C
Denyut nadi harus teratur antara 50 smp 100 x/I
Tekanan sistol harus diantara 90 -180 mmHg
Kadar Hb pd wanita paling tidak 12,5 gr/dl dan pria 13,5gr/dl
Usia minimal 18 thn Karena pertimbangan kebutuhan besi yg tinggi pada akil balik .
batas atas 65 thn karena meningkatnya insiden penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler

Pendonor harus dalam keadaan sehat dan harus bebas dari faktor dibawah ini :
Transfusi Darah 
Riwayat hepatitis sekarang atau terdahulu / riwayat kontak dekat dgn pasien hepatitis / dialisis dlm 6 bln terakhir
Riwayat sifilis dan malaria yg tidak diobati, karena penyakit ini dapat ditularkan melalui transfusi meskipun sdh setahun sebelumnya. orang yg sdh bebas gejala dan bebas terapi selama 3 thn setelah menderita malaria diperbolehkan menjadi donor
Riwayat atau terdapat bukti penyalah gunaan obat dgn cara menyuntik sendiri karena banyak pengguna obat intravena adalah karier hepatitis dan resiko terjadi AIDS tinggi pada kelompok ini
Riwayat kemungkinan pajanan HIV seperti : melakukan sex anal, kontak sex dgn bannyak pasangan dan pengguna obat intravena
Infeksi kulit karena kemungkinan mengkontaminasi jarum flebotomi
Riwayat asma, urtikaria, alergi obat karena hipersensitif dapat ditransmisi secara pasif ke resipien
Kehamilan dalam 6 bulan terakhir karena kebutuhan nutrisi yg tinggi pada ibu hamil
Riwayat terpajan penyakit menular dalam 3 minggu karena ada resiko penularan ke resipien
Riwayat donor darah dlm 56 hari terakhir

Transfusi Darah


B. Darah dan Komponen Darah
1unit darah yang telah diambil dari donor mengandung sekitar 450 ml darah dan 60-70ml anti koagulan. Pengawet yg berfungsi sbg anti koagulan dan menyediakan gula untuk metabolisme sel darah merah
Darah dapat disimpan pada 1- 6 Derajat Celsius di Bank darah selama 21-35 hari
Tergantung jenis pengawet atau anti koagulan yg dipakai
Setelah itu harus dibuang karena sdh banyak sel darah merah yg mati secara invivo
Darah yang sudah tersimpan lebih dari 24 jam tidak lagi mengandung trombosit
Macam-macam transfusi
Transfusi sel darah merah
Transfusi plasma
Transfusi albumin
Transfusi darah masih
Sebagai penggantian volume darah total penderita yang disimpan kurang dari 24 jam
Transfusi pada bagian kedaruratan medik misal: kecelakaan, ruang pembedahan / bagian kebidanan jika penderita mengalami perdarahan hebat, syok hipovolemik akut
Indikasi untuk transfusi sel darah merah
Kehilangan darah yg akut
Jika darah hilang karena trauma/pembedahan,maka penggantian sel darah merah maupun volume darah dibutuhkan
Jika lebih dari separuh volume darah hilang, maka darah lengkap yg harus diberikan
Jika < dari separuh maka konsentrasi sel darah merah dan plasma yg diberikan
Transfusi darah pra bedah
Kadar Hb 80 gr/l atau kurang maka penderita harus ditransfusi, bila kadar Hb antara 80 dan 100 gr/l setiap penderita harus dinilai secara perorangan sebelum keputusan untuk memberikan transfusi dilakukan
c. Anemia defisiensi besi
Penderita defisiensi besi tidaka dapat ditransfusikan kecuali memang dibutuhkan untuk pembedahan segera / yang telah gagal berespon terhadap pengobatan dengan dosis terapeutik penuh besi peroral
d. Anemia yg berkaitan dengan kelainan menahun
Pada penderita penyakit keganasan, artritis rematoid

Transfusi Darah


e. Gagal ginjal
Anemia berat yg berkaitan dgn gagal ginjal seharusnya diobati baik dgn transfusi sel darah merah maupun dgn eritropoitin
f. Gagal sumsum tulang
Penderita gagal sumsum tulang karena leukimia, pengobatan sitostatika atau infiltrasi keganasan akan membutuhkan bukan saja sel darah merah, namun juga komponen darah yg lain
g. Penderita yg tergantung transfusi
Penderita sindrom talasemia berat, anemia aplastik
h. Penyakit hemolitik neonatus
Jika neonatus mengalami hiperbilirubinemia berat atau anemia
i. Indikasi lain untuk transfusi
Malaria berat, septikemia meningokokus

Uji Agent padaTransfusi
HBSAg Untuk mengetahui Penyakit hepatitis
Anti body terhadap HIV
Uji Mikrobiologi mencakup penyaringan selektif titer tetanus
Uji Lain yaitu : uji serologis untuk memastikan golongan darah (A,B atau O)
Prosedur Pemberian Transfusi Darah
A. Pra prosedur
Periksa kembali apakah klien telah menandatangani inform consent
Teliti apakah golongan darah pasien telah sesuai
Lakukan konfirmasi bahwa transfusi darah memang telah diresepkan
Jelaskan prosedur pada pasien

5. Saat menerima darah atau komponen darah :
Periksa ulang label dgn perawat lain untuk meyakinkan bahwa golongan ABO nya sesuai dgn catatan
Periksa adanya gelembung darah dan warna abnormal serta pengkabutan
Periksa jumlah dan jenis darah donor sesuai dgn catatan resipien

Periksa identitas pasien dgn menanyakan nama dan memeriksa gelang identitas
Periksa ulang jumlah kebutuhan dan jenis darah resipien
Periksa TTV sbg dasar perbandingan tanda vital selanjutnya

B. Pelaksanaan
Pakai sarung tangan
Catatlah tanda vital sebelum memulai transfusi
Jangan sekali menambahkan obat ke dalam darah atau produk darah
Yakinkan bahwa darah sudah harus diberikan dlm 30 menit setelah dikeluarkan dari pendingin
Bila darah harus dihangatkan,maka hangatkan dlm penghangat darah in – line dgn sistem pemantauan
Gunakan jarum ukuran 19 atau lebih pd vena
Gunakan selang khusus yg memiliki filter darah untuk mennyaring bekuan fibrin dan partikel lainnya

Untuk 15 menit pertama berikan transfusi secara perlahan tidak lebih dari 5 ml/ menit
Lakukan observasi pasien dengan cermat akan adanya efek samping
Apabila tdk ada efek samping dlm 15 mnt pertama, naikkan kecepatan aliran kecuali pasien beresiko kelebihan sirkulasi
Observasi pasien sesering mungkin selama pemberian transfusi
Perhatikan bahwa waktu pemberian tdk melebihi 4 jam karena akan terjadi peningkatan resiko proliferasi bakteri
Siagalah thd adanya reaksi transfusi
Reaksi Transfusi
Suatu reaksi yg dpt terjadi setelah pemberian darah, komponen – komponen darah atau berbagai cairan secara intravena
Reaksi yg terjadi dapat berupa reaksi pirogen, reaksi alergi, reaksi hemolitik atau transmisi penyakit infeksi

1.Reaksi pirogen
Ditandai dengan : pasien kedinginan /menggigil diikuti demam biasanya 1jam setelah transfusi.biasanya menggigil akan menghilang setelah 15-30 menit, sedangkan demam akan menetap dlm sampai beberapa jam. Reaksi ini terjadi oleh karena sensitivitas thd sel darah putih, trombosit atau protein plasma donor
Penangananya : pasien diselimuti dan bila mungkin berikan air hangat atau obat anti piretik

2.Reaksi alergi
Reaksi hipersensitivitas dari pasien thd komponen yg tdk diketahui dari donor darah. Reaksi ini sering terjadi dan dihubungkan dgn kemungkinan transmisi antibodi dari donor. Klien mengalami urtikaria (biduran)/gatal-gatal menyeluruh yg ditransfusikan atau transfer pasiv antibodi dari donor yg bereaksi dgn berbagai antigen yg dipaparkan kpd resipien.
b. Penatalaksanaan :
Transfusi segera dihentikan
Reaksi ringan dan berespon thd antihistamin
Reaksi berat diberikan epinefrin parenteral
Reaksi ini dapat dicegah dgn pemberian anti histamin sebelum transfusi
3. Reaksi hemolitik
Reaksi ini disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah, inkompatibilitas plasma atau serum dan pemberian cairan non isotonik.
Transfusi Darah
 Reaksi yg paling berbahaya, terjadi bila darah donor tdk sesuai dgn golongan darah resipien, antibodi dlm plasma resipien akan segera bergabung dgn antigen pada eritrosit donor dan sel tsb sgr mengalami hemolisis baik dlm sirkulasi maupun dlm sistem retikuloendotelial Transfusi Darah. Fase akut ini terjadi dlm 1 jam pertama, kematian dpt terjadi pd hari ke 5 – 14
Ditandai dengan :
Rasa tidak enak dan gelisah
Kesukaran dlm bernafas
Muka menjadi merah (Flusing)
Sesak nafas, tekanan darh menurun
Mual dan muntah – muntah


b. Penatalaksanaan :
Hentikan transfusi
Berikan diuretik
Jika terdapat anuria kemungkinan besar terjadi gagal ginjal

4. Transmisi Penyakit menular
Seperti : hepatitis, malaria, sifilis dan AIDS. Setiap calon donor harus ditanyakan dahulu apakah pasien pernah menderita penyakit tsb dan apakah klien pernah atau baru saja datang dari daerah endemis malaria

Intervensi keperawatan pada reaksi transfusi
Transfusi set dilepaskan, namun jalur intra vena harus tetap diertahankan dgn larutan NS (0,9%)
Kantong darah dan selang disimpan
Gejala ditangani sesuai dengan resep dokter dan tanda vital dipantau terus
Ambil darah pasien untuk pemeriksaan kadar Hb, kultur dan penentuan ulang golongan darah
Sampel urin harus segera dikirim kelaboratorium
Bank darah diberitahu bahwa telah terjadi kecurigaan reaksi transfusi
Reaksi harus dicatat sesuai dgn kebijaksanaan institusi


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN BENIGNA PROSTAT HIPERTROFI

A. Pengertian
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih dari 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Doengoes, 2000: 67)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembesaran adenomateus dari kelenjar prostat (Barbara C Long, 1996)
Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas (Depkes 1999, hal 108)
Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Syamsuhidayat, Jong. 1997: 1058)
B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000, hal 74-75)
Penyebab BPH tidak diketahui, tapi tampaknya terdapat kaitan dengan perubahan derajat hormon yang dialami dalam proses lansia. (Barbara C Long, 1999: 32)
C. PATOFISIOLOGI
BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit ini dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab BPH ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan dengan tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi. Hormonal yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya keseimbangan antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron menurun dan estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh diet yang dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga terjadi proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka terjadi obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung kemih. Untuk mengatasi hal tersebut maka tubuh mengadakan oramegantisme yaitu kompensasi dan dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot mengakibatkan spasme otot spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat menyebabkan penebalan pada dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan mudah menimbulkan infeksi.
Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga tekanan vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke vesika urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali menyebabkan dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan pyclonefritis. Apabila telah terjadi retensi urine dan hidronefritis maka dibutuhkan tindakan pembedahan insisi. Pada umumnya penderita BPH akan menderita defisit cairan akibat irigasi yang digunakan alat invasif sehingga pemenuhan kebutuhan ADC bagi penderita juga dirasakan adanya penegangan yang menimbulkan nyeri luka post operasi pembedahan dapat terjadi infeksi dan peradangan yang menimbulkan disfungsi seksual apabilla tidak dilakukan perawatan dengan menggunakan teknik septik dan aseptik.




D. PATHWAYS KEPERAWATAN
Perubahan Usia

Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron

Testosteron menurun

Estrogen meningkat

Perubahan patologik anatomik

BPH

Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU


Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot detruktor

Spasme otot sfinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine

Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran urine ke ginjal
(refluks VU)
Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih
Tekanan ureter ke ginjal
Resiko infeksi
Kerusakan fungsi ginjal
Insisi prostat


Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko
Berkemih Infeksi disfungsi seksual


Keseimbangan Peregangan
Cairan terganggu
Spasme otot VU

Resiko kekurangan Nyeri(akut)
Volume cairan

(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)


E. Manifestasi Klinikl
Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary Tract Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.
1. Gejala iritatif
Yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala Obstruktif
Yaitu pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi menunggu lama (hesistensi), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency) dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overlow.
Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal ginjal, peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala dapat dilihat dari stadiumnya
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis
b. Stadium II
Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc
Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria)
Nokturia
c. Stadium III
Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih
d. Stadium IV
Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar periodik. (Depkes, 1996, hal 109)
Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu:
a. Rectal Grading
Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai berikut:
0-1 cm . . . . . . . grade 0
1-2 cm . . . . . . . grade 1
2-3 cm . . . . . . . grade 2
3-4 cm . . . . . . . grade 3
>4 cm . . . . . . . grade 4
b. Clinical Granding
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine
Sisa urine 0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal
Sisa urine 0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1
Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2
Sisa urine >150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3
Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4
F. Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit, bakteri dan infeksi
Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolik
Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan
Darah lengkap
Leukosit
Blooding time
Liver fungsi
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Prelograf intravena
USG
Sistoskopi
H. Penatalaksanaan
a. Observasi
b. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik λ, penghambat enzim 5-λ-reduktase, fisioterapi)
c. Terapi bedah dan terapi infasiv
(Mansjoer Arif, 2000: 333)
I. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi
Tanda: peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan pada berkemih awal.
Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan
Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
Dorongan dan frekuensi berkemih
Nokturia, disuria, hematuria
ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)
Konstipasi
Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih.
c. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
d. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada prostatisis akut)
e. Keamanan
Gejala: demam
f. Seksualitas,
Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas. Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi.
Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinari atau agen biotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat mengandung simpatometrik.
Pertimbangan: DRG menunjukkan merata selama dirawat di RS 22 hari.
Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dengan management terapi. Contoh: kateter.
2. Fokus Intervensi
a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria hasil:
Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan aliran
Intervensi:
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih
Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih
Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
Palpasi atau perkusi area suprapubic
Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic
Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total
Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal
Rasional: Menurunkan resiko infeksi
Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila diindikasikan
Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan bakteri
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
Kriteria hasil:
Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol
Pasien tampak rileks
Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang
Intervensi
Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.
Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi
Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen
Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis skrotal
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik
Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, latihan nafas dalam
Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan kemampuan koping
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria hasil:
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab
Intervensi:
Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal
Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu
Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi atau hipovolemia
Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral
Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik
Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doengoes E Marilyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawtan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta.
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Syamsuhidayat, R. 1997. Keperawtan medikal Bedah. EGC: Jakarta.


Yang perlu anda ketahui tentang DENVER DEVELOPMENT SCREENING TEST (DDST)

I. Pengertian DDST (Denver Development Screening Test)
DDST adalah salah satu metode screening terhadap kelainan perkembangan anak. Tes ini bukanlah tes diagnostik atau tes IQ. (Soetjiningsih, 1998).

II. Fungsi DDST
DDST digunakan untuk menaksir perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar pada anak umur 1 bulan sampai 6 tahun.

III. Aspek-aspek Perkembangan yang Dinilai
Dalam DDST terdapat 125 tugas-tugas perkembangan dimana semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi :
a. Personal Social (Perilaku Sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, seperti:
1. Menatap muka
2. Membalas senyum pemeriksa
3. Tersenyum spontan
4. Mengamati tangannya
5. Berusaha menggapai mainan
6. Makan sendiri
7. Tepuk tangan
8. Menyatakan keinginan
9. Daag-daag dengan tangan
10. Main bola dengan pemeriksa
11. Menirukan kegiatan
12. Minum dengan cangkir
13. Membantu di rumah
14. Menggunakan sendok dan garpu
15. Membuka pakaian
16. Menyuapi boneka
17. Memakai baju
18. Gosok gigi dengan bantuan
19. Cuci dan mengeringkan tangan
20. Menyebut nama teman
21. Memakai T-shirt
22. Berpakaian tanpa bantuan
23. Bermain ular tangga / kartu
24. Gosok gigi tanpa bantuan
25. Mengambil makan
b. Fine Motor Adaptive (Gerakan Motorik Halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan dalam:
1. Mengikuti ke garis tengah
2. Mengikuti lewat garis tengah
3. Memegang icik-icik
4. Mengikuti 1800
5. Mengamati manik-manik
6. Tangan bersentuhan
7. Meraih
8. Mencari benang
9. Menggaruk manik-manik
10. Memindahkan kubus
11. Mengambil dua buah kubus
12. Memegang dengan ibu jari dan jari
13. Membenturkan 2 kubus
14. Menaruh kubus di cangkir
15. Mencoret-coret
16. Ambil manik-manik ditunjukkan
17. Menara dari 2 kubus
18. Menara dari 4 kubus
19. Menara dari 6 kubus
20. Meniru garis vertikal
21. Menara dari kubus
22. Menggoyangkan dari ibu jari
23. Mencontoh O
24. Menggambar dengan 3 bagian
25. Mencontoh (titik)
26. Memilih garis yang lebih panjang
27. Mencontoh  yang ditunjukkan
28. Menggambar orang 6 bagian
29. Mencontoh 
c. Language (Bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan yang meliputi :
1. Bereaksi
2. Bersuara
3. Oooo ? Aaaah
4. Tertawa
5. Berteriak
6. Menoleh ke bunyi icik-icik
7. Menoleh ke arah suara
8. Satu silabel
9. Meniru bunyi kata-kata
10. Papa/mama tidak spesifik
11. Kombinasi silabel
12. Mengoceh
13. Papa/mama spesifik
14. 1 kata
15. 2 kata
16. 3 kata
17. 6 kata
18. Menunjuk 2 gambar
19. Kombinasi kata
20. menyebut 1 gambar
21. Menyebut bagian badan
22. Menunjuk 4 gambar
23. Bicara dengan dimengerti
24. Menyebut 4 gambar
25. Mengetahui 2 kegiatan
26. Mengerti 2 kata sifat
27. Menyebut satu warna
28. Kegunaan 2 benda
29. Mengetahui
30. Bicara semua dimengerti
31. Mengerti 4 kata depan
32. Menyebut 4 warna
33. Mengartikan 6 kata
34. Mengetahui 3 kata sifat
35. Menghitung 6 kubus
36. Berlawanan 2
37. Mengartikan 7 kata
d. Gross Motor (Gerak Motorik Kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh, meliputi kemampuan dalam:
1. Gerakan seimbang
2. Mengangkat kepala
3. Kepala terangkat ke atas
4. Duduk kepala tegak
5. Menumpu badan pada kaki
6. Dada terangkat menumpu satu lengan
7. Membalik
8. Bangkit kepala tegak
9. Duduk tanpa pegangan
10. Berdiri tanpa pegangan
11. Bangkit waktu berdiri
12. Bangkit terus duduk
13. Berdiri 2 detik
14. Berdiri sendiri
15. Membungkuk kemudian berdiri
16. Berjalan dengan baik
17. Berjalan dengan mundur
18. Lari
19. Berjalan naik tangga
20. Menendang bola ke depan
21. Melompat
22. Melempar bola, lengan ke atas
23. Loncat
24. Berdiri satu kaki 1 detik
25. Berdiri satu kaki 2 detik
26. Melompat dengan satu kaki
27. Berdiri satu kaki 3 detik
28. Berdiri satu kaki 4 detik
29. Berjalan tumit ke jari kaki
30. Berdiri satu kaki 6 detik

IV. Cara Mengukur Perkembangan Anak dengan DDST
Pada waktu tes, tugas yang perlu diperiksa setiap kali skrining biasanya hanya berkisar antara 20-30 tugas saja, sehingga tidak memakan waktu lama, hanya sekitar 15-20 menit saja
a. Alat yang Digunakan
1. Alat peraga : benang wol merah, kismis/manik-manik, kubus warna merah-kuning-hijau- biru, permainan anak, botol kecil, bola tenis, bel kecil, kertas, dan pensil.
2. Lembar formulir DDST
3. Buku petunjuk sebagai referensi yang menjelaskan cara-cara melakukan tes dan cara menilainya.
b. Prosedur DDST terdiri dari dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama : secara periodik dilakukan pada semua anak yang berusia 3 – 6 bulan, 9 – 12 bulan, 18 – 24 bulan, 3 tahun, 4 tahun, 5 tahun.
2. Tahap kedua : dilakukan pada mereka yang dicurigai adanya hambatan perkembangan pada tahap pertama kemudian dilarutkan dengan evaluasi diagnostik yang lengkap.

c. Penilaian
Penilaian apakah lulus (Passed: P), gagal (Fail: F), ataukah anak tidak mendapat kesempatan melakukan tugas (No Opportunity: N.O). Kemudian ditarik garis berdasarkan umur kronologis, yang memotong garis horisontal tugas perkembangan pada formulir DDST. Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan berapa yang F, selanjutnya berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasi dalam normal, abnormal, meragukan (Questionable) dan tidak dapat dites (Untestable).
1. Abnormal
- Bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan, pada 2 sektor atau lebih
- Bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan plus 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
2. Meragukan
- Bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih.
- Bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
3. Tidak dapat dites
Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes menjadi abnormal atau meragukan.
4. Normal
Semua yang tidak tercantum dalam kriteria tersebut di atas.
Agar lebih cepat dalam melaksanakan skrining, maka dapat digunakan tahap pra skrining dengan menggunakan :
1. DDST Short Form, yang masing-masing sektor hanya diambil 3 tugas (sehingga seluruhnya ada 12 tugas) yang ditanyakan pada ibunya. Bila didapatkan salah satu gagal atau ditolak, maka dianggap “suspect” dan perlu dilanjutkan dengan DDST lengkap.
2. PDQ (Pra-Screening Development Questionnaire)
Bentuk kuisioner ini digunakan bagi orang tua yang berpendidikan SLTA ke atas dapat diisi orang tua di rumah atau pada saat menunggu di klinik. Dipilih 10 pertanyaan pada kuisioner yang sesuai dengan umur anak. Kemudian dinilai berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan dan pada kasus yang dicurigai dilakukan tes DDST lengkap. (Soetjiningsih, 1998)

V. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak
Terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh-kembang anak, yaitu:
1. Faktor Genetik
Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa. Seperti sindrom Down, sindrom Turner yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
2. Faktor Lingkungan
a. Faktor Lingkungan Pra natal, antara lain:
- Gizi ibu pada waktu hamil
- Mekanis (trauma dan cairan ketuban yang kurang, posisi janin)
- Toksin / zat kimia (zat teratogen: obat-obatan teralidomide, pkenitoin, methadion, obna-obat anti kanker)
- Endokrin (defisiensi hormon somatotropin, hormon plasenta, hormon tiroid, insulin)
- Radiasi
- Infeksi (Torch, Varisela, Coxsakie, Echovirus, Malaria, Lues, HIV, polio, campak, teptospira, virus influenza, virus hepatitis)
- Stres
- Imunitas
- Anoksia embrio

b. Faktor Lingkungan Post Natal, yaitu :
1. Lingkungan Biologis, antara lain: Ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon.
2. Faktor Fisik, antara lain: cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah, radiasi.
3. Faktor Psikososial, antara lain: stimulasi, motivasi belajar, hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stres, sekolah, cinta dan kasih sayang, kualitas interaksi anak-orang tua.
4. Faktor Keluarga dan Adat Istiadat, antara lain: pekerjaan/ pendapatan keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, agama, urbanisasi, kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak, angaran, dll. (Soetjiningsih, 1998)

VI. Stimulasi dasar atau kebutuhan dasar untuk tumbuh-kembang yang diberikan Ibu pada anak
Secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar, yaitu:
1. Kebutuhan Fisik – Biomedis (“ASUH”)
- Pangan/gizi merupakan kebutuhan terpenting
- Perawatan kesehatan dasar: imunisasi, pemberian ASI, penimbangan bayi/anak yang teratur, pengobatan kalau sakit.
- Papan/pemukiman yang layak.
- Hygiene perorangan, sanitasi lingkungan
- Sandang
- Kesegaran jasmani, rekreasi.
2. Kebutuhan emosi/kasih sayang (“ASUH”)
- Kebutuhan hubungan ibu dan anak
- Emosi
- Psikososial
- Kasih sayang
3. Kebutuhan akan stimulasi mental (“ASUH”)
- Kecerdasan - Kreativitas - Moral – Etika
- Ketrampilan - Agama - Produktivitas
- Kemandirian - Kepribadian - dsb.
Stimulasi yang diberikan tenaga profesional, meliputi:
1. Fisioterapi
2. Terapi okupasi
3. Terapi wicara
4. Terapi bermain
5. Terapi pijat
6. Latihan persepsi motorik
7. Psikoterapi
8. Edukasi
Stimulasi yang diberikan orang tua dan tenaga profesional berupa stimulasi sensori yang terintegrasi meliputi:
1. Penglihatan
2. Pendengaran
3. Proprioseptif raba
4. Sentuhan
5. Keseimbangan


PENGKAJIAN TINGKAT KECEMASAN

1. Perasaan cemas: Skor : … (0-4)
Firasat/mimpi buruk
Takut akan pikiran sendiri
Mudah tersinggung

2. Ketegangan: Skor : … (0-4)
Merasa tegang
Lesu
Mudah terkejut
Tidak dapat tidur dengan nyenyak
Mudah menangis
Gemetar
Gelisah

3. Ketakutan: Skor : … (0-4)
Pada gelap
Ditinggal sendiri
Pada orang asing
Pada binatang besar
Pada keramaian lalu lintas
Pada kerumunan banyak orang

4. Gangguan tidur Skor : … (0-4)
Sukar memualai tidur
Terbangun malam hari
Tidak pulas
Mimpi buruk
Mimpi yang menakutkan

5. Gangguan kecerdasan: Skor : … (0-4)
Daya ingat buruk
Sulit konsentrasi
Sering bingung

6. Perasaan depresi: Skor : … (0-4)
Kehilangan minat
Sedih
Bangun dini hari
Berkurangnya kesukaan pada hobi
Perasaan berubah-ubah sepanjang hari

7. Gejala somatik: Skor : … (0-4)
Nyeri otot
Kaku otot
Kedutan otot
Gigi gemeretak
Suara tak stabil




8. Gangguan sensorik: Skor : … (0-4)
Telinga berdengung
Penglihatan kabur
Muka merah dan pucat
Merasa lemah
Perasaan ditusuk-tusuk

9. Gejala kardiovaskuler: Skor : … (0-4)
Denyut nadi cepat
Kekuatan denyut nadi meningkat
Berdebar-debar
Nyeri dada
Rasa lemah seperti mau pingsan
Detak jantung hilang sekejap

10. Gejala pernapasan: Skor : … (0-4)
Rasa tertekan di dada
Perasaan tercekik
Merasa napas pendek/sesak
Sering menarik napas panjang

11. Gejala gastrointestinal: Skor : … (0-4)
Sulit menelan
Mual muntah
Berat badan menurun
Konstipasi/sulit buang air besar
Perut melilit
Gangguan pencernaan
Nyeri lambung
Rasa panas di perut
Perut terasa penuh/kembung

12. Gejala urogenitalia: Skor : … (0-4)
Sering kencing
Tidak dapat menahan kencing
Amenorhoe/menstruasi tidak teratur (khusus pada WUS)
Frigiditas/penurunan libido

13. Gejala vegetatif/otonom: Skor : … (0-4)
Mulut kering
Muka kering
Mudah berkeringat
Pusing/sakit kepala
Bulu roma merinding

14. Apakah klien merasakan … Skor : … (0-4)
Gelisah
Tidak tenang
Mengerutkan dahi
Muka tegang
Tonus/ketegangan otot meningkat
Napas pendek dan cepat
Muka merah

________________________________________

Keterangan:
- Skor setiap item (item 1-14):
0 = tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)
1 = ringan (satu dari option yang ada)
2 = sedang (separuh dari option yang ada)
3 = berat (lebih dari separuh option yang ada)
4 = sangat berat (semua option yang ada)
- Tingkat kecemasan:
Skor ≤ 5 = tidak ada kecemasan
Skor 6 – 14 = kecemasan ringan
Skor 15 – 27 = kecemasan sedang
Skor ≥ 28 = kecemasan berat


Apakah anda tahu tentang TERAPI CAIRAN DAN TRANFUSI?

I. Cairan Preoperatif
Cairan yang diberikan pada pasien – pasien yang akan mengalami tindakan operasi, dan juga merupakan cairan pengganti puasa.
Contoh : Pasien dengan BB 60 kg, dan pasien tersebut puasa selama 8 jam, cara menghitung cairan pengganti puasa adalah sebagai berikut:
Rumus : =
: 50 cc x 60 kg BB = 3000 cc/24 jam
Kebutuhan / Jam adalah : 125 x 8 jam puasa = 1000 cc/8 jam.
II. Cairan Durante Operasi
1. Mengganti cairan maintenance operasi
Pedoman :
Operasi ringan : Ringan 4 cc/kgBB/Jam
Sedang 6 cc/kgBB/Jam
Berat 8 cc/kgBB/Jam
Cairannya adalah ringer lactat.
2. Mengganti cairan akibat pedarahan.
Pedoman :
Catat :
2.1. Perdarahan yang tertampung.
2.1.1. Botol penampung dari suction
2.1.2. Kasa atau sejenisnya
2.1.3. Ceceram dilapangan operasi
2.2. EBV penderita dan prosentase perdarahan
Cairan pengganti :
2.1.1. Kristaloid
2.1.2. Koloid
2.1.3. Darah
3. Contoh menghitung cairan maintenance dan pedarahan
Seorang Px ♂ dating dengan diagnosa Fraktur Femur Dextra dan akan dilakukan operasi pleting femur dextra.
BB. 70 kg, TD. 90/70 mmHg, Nadi. 100x/m.
Contoh menghitung cairan durante maintenance operasi.
Rumus :
: 70 x 6 = 420 cc / jam.
Jika operasi selama 3 jam berarti kebutuhan cairan maintenance adalah 420 cc x 3 jam = 1260 cc selama 3 jam operasi.
4. Contoh menghitung cairan pengganti perdarahan.
Rumus EBV : kgBB x EBV =
: 70 x 70 = 4900 ml.EBV
Perdarahan : 10% = 490 cc
20% = 980 cc
30% = 1470 cc
40% = 1960 cc
Jika perdarahan 10% berarti kita berikan cairan fristaloid yaitu 2 – 4 x pemberian.
Jika perdarahan > 20% kita berikan cairan koloid dan darah 1 x pemberian.
Apabila operasi selama 3 jam, perdarahan 40 % cara menghitung maintenance dan perdarahan adalah sebagai berikut.
- Operasi sedang
70 x 6 = 420 cc/Jam x 3 jam = 1260 cc cairan RL/PZ
- Perdarahan 40% berikan koloid / dara 1 x pemberian jadi perdarah 1960cc. Berarti berikan koloid 1960cc atau darah 1960cc.
Jadi cairan maintenance di tambah perdarahan selama berapa jam operasi yaitu 1260cc RL/PZ + 1960cc Coloid/darah.
III. Cairan Post Op.
1. Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa
Natrium 2 – 4 Meg/kgBB
Kalium 1 – 2 Meg/kgBB
2. Kebutuhan kalori basal
Dewasa berdasarkan berat badan
Rumus : BB (kg) x 20 – 30 :
Anak bedasarkan umur
Contoh : BB 60 kg.
Kebutuhan Natrium 2 – 4 Meg x 60 = 120 – 240 Meg.
Kalium 1 – 2 Meg x 60 = 60 – 120 Meg.
Kalori 20 – 30 Meg x 60 = 1200 – 1800 Kalori.
Cairan RL Natrium 130 Meg/L, dengan BB 60 Kg berarti kebutuhan cairan Post Op. 24 Jam adalah : RL : 1500 cc
24 Jam
: DS% : 1500 cc
KESIMPULAN
1. Terapi cairan, pre Op. Durante, Post Op. adalah terapi cairan yang utama dalam pembedahan


 
© 2010-2012 My Documentku