KONSEP DASAR
A. Pengertian
1. Atresia ani adalah kelainan urogenital yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukan anus dari benjolan embriogenik.
( Mansjoer,Arif ; 2000 ).
2. Atresia ani adalah tidak komplit perkembangan embriotik pada distal usus atau tertutupnya anus secara abnormal. ( Suriadi ; 2001 )
3. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. ( Wong, Donnal ; 2003 )
4. Atresia ani adalah kelaianan kongenital yang disebabkan oleh adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal struktur mesiodrm dan urinarius bagian bawah.( A.H. Markum ; 1996 )
5. Ateria Ani adalah suatu penyakit kelainan-kelainan atau anomali-anomali kongenital pada anus dan rektal.( Behrman ; 1999 )
6. Anus Imperforata ( Atresia anal ) merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus.( Hidayat.A. Aziz Alimul ; 2006 )
7. Atresia Ani adalah Suatu keadaan dimana lubang anus tidak terbentuk.
( www.medicastore.com )
B. Etiologi
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
4. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan embrional dan fetal yang dipengaruhi berbagai faktor seperti : faktor genetik, faktor kromosom, faktor mekanis, faktor hormonal, faktor obat, faktor radiasi, faktor gizi dan gangguan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter dan otot-otot dasar panggul. Namun demikian, pada agenesis anus,sfingter intern mungkin tidak memadai. Kelainan bawaan rektum dan sinus urorektal ysehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan.
Penyebab atresia ani adalah gangguan perkembangan struktur anorektal pada waktu pembentukan organ selama masa kehamilan, gangguan fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. ( Mansjoer ; 2000 )
Kelaianan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan. ( Sjamsuhidayat, 1997, A.H. Markum, 1996 )
C. Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiyah ( 2005 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Menurut Suriadi ( 2001 ) gejala atresia ani :
1. Kegagalan lewatnya ekonium saat atau setelah lahir.
2. tidak ada atau stenosis kanal rektal.
3. Adanya membran anal.
D. Patofisiologi
Anus dan rektum berasal dari struktur embriologi yang disebut kloaka. Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah ventral. Kedua sistem (rektum dan saluran kencing) menjadi terpisah sempurna pada umur kehamilan minggu ke-7. Pada saat yang sama, bagian urogenital yang berasal dari kloaka sudah mempunyai lubang eksterna, sedangkan bagian anus tertutup oleh membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu
ke-8. Kelainan dalam perkembangan proses-proses ini pada berbagai stase menimbulkan suatu spektrum anomali, kebanyakan membran saluran usus bawah dan bangunan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara bagian bawah dan bagian rektum kloaka menimbulkan fistula. ( Behram ; 2000 )
E. Pathway
Struktur embriologi kloaka
Anus dan rectum
Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral
Membentuk septum urorektum pada kehamilan minggu ke-7
Urogenital kloaka Anus tertutup Terbuka pada kehamilan
mengalami pembukaan membran minggu ke-8
Gangguan perkembangan struktur anorektal
Atresia ani
Letak tinggi Letak rendah
Colostomi sementara dilatasi digital 1-2 bulan
Transvercolostomy Sigmoidostomy Penutupan colostomy
Kerusakan inregitas kulit
Luka Peningkatan kerentanan
terhadap bakteri
Resiko terhadap infeksi
Pasca anestesi Pembatasan diet/puasa Peningkatan kebutuhan Imobilitas
protein dan vitamin
Toleransi
aktivitas
Ketidakseimbangan Nutrisi
kurang dari tubuh
Penurunan
peristaltik Mual dan muntah
Konstipasi
Nyeri akut
Kurang pengetahuan
F. Komplikasi
1. Atresia ani tipe rendah
Karena pengelolaan atresia ani tipe rendah tidak begitu kompleks. Adapun komplikasi yang mungkin muncul pada pengelolaan atresia ani tipe rendah :
a. Pembentukan abses.
b. Striktur anal.
2. Atresia ani tipe tinggi
a. Striktur anal
Dapat berkembang anoplasti/rektoplasti anus yang baru harus dilatasi secara teratur selama beberapa bulan.
b. Pengelupasan rektum
Hal ini terjadi akibat ischemia.
c. Komplikasi dari colostomy
Prolaps kolon / obstruksi intestinal.
d. Komplikasi urinarius
Inkontinensia dari infeksi traktus urinarius.
Komplikasi yang sering muncul antara lain :
1. Asidosis hiperkloremia
2. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah )
4. Komplikasi yang panjang ;
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis ( akibat kontraksi jarina perut akibat anastomosis )
c. Impasi dan konstipasi.
d. Masalah aau elambatan yang berhubungan dwengan toilet training
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi
f. Prolaps mukosa anorektal ( menyebabkan inkontinensia dan rembes dan pesisten ).
g. Fistula kambuhan ( karena tegangan di area pembedahsn dan infeksi )
G. Klasifikasi
Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe : :
1. TIPE PERTAMA (1): Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat.
2. TIPE KEDUA (2): Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
3. TIPE KETIGA (3): Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu
kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk ( lekukan anus ).
4. TIPE KEEMPAT (4): Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi, dikenal sebagai klasifikasi melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal
contohnya berupa stenosis anus ( tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal ).
7. Rektum berupa kelainan letak tengah
Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus ( anal dimple ) yang cukup dalam. Namun, pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi
Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak rendah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula dan kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkanpada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rekto perineum..
Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula.
9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital.
(www.google.com)
Klasifikasi atresia ani :
1. Atresia ani tipe rendah.
Suatu kedaan dimana usus bagian dorsal melewati musculus levator ani, dengan terdapat sfingter ani internus dan eksternus yang berkembang baik dan fungsi normal.
2. Atresia ani tipe tinggi.
Suatu keadaan dimana usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis tanpa sfingter ani internus tidak berhasil dalam menahan defikasi rektum.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan atresia ani menurut Syamsuhidayat (1997) :
1. Pemeriksaan radiologi invertogram
Yaitu tehnik pengembalian foto untuk menilai jarak pungtum distal rektum terhadap mara anus di kulit peritonium.
Pada tehnik ini, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah ) atau tiduer dengan sinar horisontal diarahkan ke tronchanter mayor sehingga dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Foto ini dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 24 jam, karena pada usia tersebut dalam keadaan normal seluruh traktus digestivus sudah berisi udara ( bayi dibalik selama 5 menit ). Invertogram ini dilakukan pada bayi tanpa fistula.
2. Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mekonium di dalamnya sehingga fistula dapat diketahui lebih dini.
I. Penatalaksanaan
Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.
7
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati- hatiterhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresi ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
Rehabilitasi dan pengobatan :
1. Melakukan pemeriksaan colok dubur
2. Melakukan pemeriksaan radiologik
pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
5. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
7. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia ( 1 tahun ) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia ( 8-12 bulan ) pendekatan sakrum setelah bayi berumur ( 6-9 bulan )
8. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through".
Manfaat kolostomi adalah antara lain:
1. Mengatasi obstruksi usus
2. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
3. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
Penatalaksanaan menurut Markum (1996) dan Syamsuhidayat (1997) :
1. Atresia ani tipe rendah
Indikasi : jika dalam pemeriksaan masih dijumpai sfingter ani internus dan eksternus serta usus bagian dorsal masih melewati musculus levator ani.
Pengelolaan : pengelolaan atresia ani tipe rendah yang dapat merupakan stenosis anus hanya membutuhkan dilatasi membran anus yang tipis, mudah dibuka segera setelah lahir.
2. Atresia ani tipe tinggi
Indikasi : jika pada pemeriksaan tidak dijumpai sfingter ani internus dan usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis.
Pengelolaan :
a. Tahap pertama ( masa neonatus).
Dilakukan tindakan operasi colostomy. Colostomy tidak boleh melewati 3 hari setelah lahir, dikhawatirkan mengancam jiwa bayi tersebut.
Tindakan operatif bertujuan untuk pengalihan feses sementara dan untuk mengoreksi deformitas rectal.
Ada 2 tempat colostomy yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversum colostomy (colostomy di kolon transversum) dan sigmoidostomi (colostomy di colon sigmoid).
b. Tahap ke dua ( usia 6-12 bulan ).
Dilakukan tindakan operasi yang bersifat definitif dengan prinsip pengobatan operatif posterior sagital anorektoplasi (PSARP). Posisi anus yang tepat di daerah sfingter eksternus dan posisi anatomi usus pada penyangga puborektal.
Jadi ini tindakan PSARP tindakan membuat anus buatan atau tindakan memperbaiki anus dan rektum supaya dapat berfungsi sebagaimana layaknya.
c. Tahap ke tiga
Tindakan operatif tahap ketiga dilakukan minimal 3 bulan setelah PSARP. Tindakan pada tahap ini adalah untuk menutup colostomy tahap pertama (operasi penutupan colostomy).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ATRESIA ANI
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Pada Anak
a. Kaji biodata pasien.
b. Tanpa mekonium dalam 24 jam setelah lahir.
c. Kaji adanya pasase mekonium.
Perhatikan bila mekonium tampak pada orifisium yang tidak tepat.
d. Kaji feses yang seperti korban pada bayi yang lebih besar atau anak kecil yang mempunyai riwayat kesulitan defekasi atau distensi abdomen.
e. Kaji adanya tinja dalam urine dan vagina.
2. Pengkajian Pada Orang Tua
a. Kaji riwayat kehamilan
b. Kaji riwayat infeksi
c. Kaji psikososial keluarga
d. Kaji pengetahuan keluarga
3. Pemeriksaan Fisik
a. Periksa keadaan anus
Adanya malformasi anorektal tidak terbentuk anus.
b. Perikasa ada atau tidaknya pistula rektovaginal dan fistula rekburetra
Pada pengkajian kperawatan pasien dengan atresia ani akan ditemukan data-data sebagai berikut :
1) Penyumbatan anus ( anus tidak normal ).
2) Adanya kembung dan muntah pada 24-28 jam setelah lahir.
3) Pada bayi laki-laki dengan fistula urinary didapatkan mekonium pada urine dan pada bayi perempuan dengan fistula urogenital ditemukan mekonium dalam vagina.
4) Pada pemeriksaan fisik ( dengan memasukkan jari kelingking dengan memakai sarung tangan atau juga dengan memasukkan thermometer sepanjang ± 2cm ) tidak ditemukan anus secara normal.
5) Adanya berbagai bentuk seperti stinosis rectum yang lebih rendah atau juga pada anus.
6) Membrane anus yang menetap.
7) Adanya fistula antara rectum dan tractus urinaria.
8) Adanya fistula antara rectum, vagina atau perineum pada perampuan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pra bedah
1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan.
b. Pasca bedah
1) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma post op colostomy.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam mencerna makanan.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan immobilisasi.
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.
C. INTERVENSI
Menurut NIC ; 1996 dan NOC ; 1997
a. Pra bedah
1. Dx 1 : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
Keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit
pasien adekuat.
NOC : Fluid Balance
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal HT normal
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Keterangan skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Fluid Management
Intervensi :
a. Timbang popok / pembalut jika diperlukan
b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
c. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik)
d. Monitor TTV
e. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
f. Kolaborasi pemberian cairan IV
g. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
h. Tawarkan snack / jus buah segar
2. Dx 2 : Kurang pengetahuan berhubunagn dengan keterbatasan paparan
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi.
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
a. Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya.
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Teaching : Disease Process
Intervensi :
a. Jelaskan patofisiolagi dari penyakit.
b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang benar.
c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat..
d. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat.
e. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit.
c. Pasca bedah
1. Dx 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan trauma post op colostomy.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi.
NOC : Knowledge : Infection Control
Kriteria Hasil :
a. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya.
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
d. Jumlah leukosit dalam batas normal.
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat.
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Infection Control
Intervensi :
a. Batasi pengunjung bila perlu.
b. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan.
c. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
d. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
e. Tingkatkan intake nutrisi.
f. Berikan terapi antibiotic bila perlu.
2. Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan nyeri berkurang / hilang.
NOC : Pain Control
Kriteria Hasil :
a. Mengenal faktor penyebab
b. Mengenal serangan nyeri
c. Gunakan tindakan preventif
d. Gunakan tindakan pertolongan non analgetik
e. Gunakan analgetik yang tepat
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan 4 : Sering dilakukan
2 : Jarang dilakukan 5 : Selalu dilakukan
3 : Kadang dilakukan
NIC : Pain Management
Intervensi :
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
b. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan.
c. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga.
d. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab, berapa lama terjadi dan tindakan pencegahan.
e. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi.
f. Berikan analgetik sesuai anjuran.
g. Tingkatkan tidur istirahat yang cukup.
h. Monitor kenyamanan pasien terhadap management nyeri.
i. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri.
3. Dx 3 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam mencerna makanan
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NOC : Nutritional Status
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan. 4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan 5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC : Nutrition Management
Intervensi :
a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Anjurkan pasien untuk meningkat intake Fe.
c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake protein.
d. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
e. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
4. Dx 4 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi intoleransi aktivitas.
NOC : Activity Tolerance
Kriteria Hasil :
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR.
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri.
Keterangan Skala :
1 : Tidak dilakukan sama sekali. 4 : Sering dilakukan
2 : Jarang dilakukan 5 : Selalu dilakukan
3 : Kadang dilakukan
NIC : Activity Theraphy
Intervensi :
a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitas medik dalam merencanakan program terapi yang tepat.
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan.
c. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.
d. Bantu klien membuat jadwal latihan di waktu luang.
5. Dx 5 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :
a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
b. Hindari kerutan pada tempat tidur
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
e. Monitor kulit akan adanya kemerahan
f. Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
g. Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
D. EVALUASI
1. Pra bedah
1. Dx 1
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal HT normal ( skala 5 )
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal ( skala 5 )
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan ( skala 5 )
2. Dx 2
Kriteria Hasil :
a. Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan ( skala 5 )
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar ( skala 5 )
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya ( skala 5 )
2. Pasca bedah
1. Dx 1
Kriteria Hasil :
a. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi ( skala 5 )
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya ( skala 5 )
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
( skala 5 )
d. Jumlah leukosit dalam batas normal ( skala 5 )
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat ( skala 5 )
2. Dx 2
Kriteria Hasil :
a. Mengenal faktor penyebab ( skala 5 )
b. Mengenal serangan nyeri ( skala 5 )
c. Gunakan tindakan preventif ( skala 5 )
d. Gunakan tindakan pertolongan non analgetik ( skala 5 )
e. Gunakan analgetik yang tepat ( skala 5 )
3. Dx 3
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan ( skala 5 )
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan ( skala 5 )
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi ( skala 5 )
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi ( skala 5 )
4. Dx 4
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan ( skala 5 )
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit ( skala 5 )
c. Perfusi jaringan baik ( skala 5 )
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang ( skala 5 )
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami ( skala 5 )
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.
Doengoes,M.E. 1999. Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Http://www.medicastore.com
Http://www.google.com
Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC) Edisi 2. St. Louis ,Missouri ; Mosby.
Mansjoer,Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aescullapius.
Markum,AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta : FKUI.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Nelson, Waldo. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC.
Mc Closkey, Joanner. 1996 . Iowa Intervention Project Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi 2. Westline Industrial Drive, St. Louis :Mosby.
Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA . Jakarta : Prima Medika.
Wong, Donna L.2003.Pedoman klinis Keperawatan Pediatrik.Jakarta : EGC
A. Pengertian
1. Atresia ani adalah kelainan urogenital yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukan anus dari benjolan embriogenik.
( Mansjoer,Arif ; 2000 ).
2. Atresia ani adalah tidak komplit perkembangan embriotik pada distal usus atau tertutupnya anus secara abnormal. ( Suriadi ; 2001 )
3. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. ( Wong, Donnal ; 2003 )
4. Atresia ani adalah kelaianan kongenital yang disebabkan oleh adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal struktur mesiodrm dan urinarius bagian bawah.( A.H. Markum ; 1996 )
5. Ateria Ani adalah suatu penyakit kelainan-kelainan atau anomali-anomali kongenital pada anus dan rektal.( Behrman ; 1999 )
6. Anus Imperforata ( Atresia anal ) merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus.( Hidayat.A. Aziz Alimul ; 2006 )
7. Atresia Ani adalah Suatu keadaan dimana lubang anus tidak terbentuk.
( www.medicastore.com )
B. Etiologi
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
4. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan embrional dan fetal yang dipengaruhi berbagai faktor seperti : faktor genetik, faktor kromosom, faktor mekanis, faktor hormonal, faktor obat, faktor radiasi, faktor gizi dan gangguan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter dan otot-otot dasar panggul. Namun demikian, pada agenesis anus,sfingter intern mungkin tidak memadai. Kelainan bawaan rektum dan sinus urorektal ysehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan.
Penyebab atresia ani adalah gangguan perkembangan struktur anorektal pada waktu pembentukan organ selama masa kehamilan, gangguan fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. ( Mansjoer ; 2000 )
Kelaianan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan. ( Sjamsuhidayat, 1997, A.H. Markum, 1996 )
C. Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiyah ( 2005 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Menurut Suriadi ( 2001 ) gejala atresia ani :
1. Kegagalan lewatnya ekonium saat atau setelah lahir.
2. tidak ada atau stenosis kanal rektal.
3. Adanya membran anal.
D. Patofisiologi
Anus dan rektum berasal dari struktur embriologi yang disebut kloaka. Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah ventral. Kedua sistem (rektum dan saluran kencing) menjadi terpisah sempurna pada umur kehamilan minggu ke-7. Pada saat yang sama, bagian urogenital yang berasal dari kloaka sudah mempunyai lubang eksterna, sedangkan bagian anus tertutup oleh membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu
ke-8. Kelainan dalam perkembangan proses-proses ini pada berbagai stase menimbulkan suatu spektrum anomali, kebanyakan membran saluran usus bawah dan bangunan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara bagian bawah dan bagian rektum kloaka menimbulkan fistula. ( Behram ; 2000 )
E. Pathway
Struktur embriologi kloaka
Anus dan rectum
Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral
Membentuk septum urorektum pada kehamilan minggu ke-7
Urogenital kloaka Anus tertutup Terbuka pada kehamilan
mengalami pembukaan membran minggu ke-8
Gangguan perkembangan struktur anorektal
Atresia ani
Letak tinggi Letak rendah
Colostomi sementara dilatasi digital 1-2 bulan
Transvercolostomy Sigmoidostomy Penutupan colostomy
Kerusakan inregitas kulit
Luka Peningkatan kerentanan
terhadap bakteri
Resiko terhadap infeksi
Pasca anestesi Pembatasan diet/puasa Peningkatan kebutuhan Imobilitas
protein dan vitamin
Toleransi
aktivitas
Ketidakseimbangan Nutrisi
kurang dari tubuh
Penurunan
peristaltik Mual dan muntah
Konstipasi
Nyeri akut
Kurang pengetahuan
F. Komplikasi
1. Atresia ani tipe rendah
Karena pengelolaan atresia ani tipe rendah tidak begitu kompleks. Adapun komplikasi yang mungkin muncul pada pengelolaan atresia ani tipe rendah :
a. Pembentukan abses.
b. Striktur anal.
2. Atresia ani tipe tinggi
a. Striktur anal
Dapat berkembang anoplasti/rektoplasti anus yang baru harus dilatasi secara teratur selama beberapa bulan.
b. Pengelupasan rektum
Hal ini terjadi akibat ischemia.
c. Komplikasi dari colostomy
Prolaps kolon / obstruksi intestinal.
d. Komplikasi urinarius
Inkontinensia dari infeksi traktus urinarius.
Komplikasi yang sering muncul antara lain :
1. Asidosis hiperkloremia
2. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah )
4. Komplikasi yang panjang ;
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis ( akibat kontraksi jarina perut akibat anastomosis )
c. Impasi dan konstipasi.
d. Masalah aau elambatan yang berhubungan dwengan toilet training
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi
f. Prolaps mukosa anorektal ( menyebabkan inkontinensia dan rembes dan pesisten ).
g. Fistula kambuhan ( karena tegangan di area pembedahsn dan infeksi )
G. Klasifikasi
Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe : :
1. TIPE PERTAMA (1): Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat.
2. TIPE KEDUA (2): Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
3. TIPE KETIGA (3): Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu
kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk ( lekukan anus ).
4. TIPE KEEMPAT (4): Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi, dikenal sebagai klasifikasi melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal
contohnya berupa stenosis anus ( tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal ).
7. Rektum berupa kelainan letak tengah
Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus ( anal dimple ) yang cukup dalam. Namun, pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi
Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak rendah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula dan kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkanpada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rekto perineum..
Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula.
9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital.
(www.google.com)
Klasifikasi atresia ani :
1. Atresia ani tipe rendah.
Suatu kedaan dimana usus bagian dorsal melewati musculus levator ani, dengan terdapat sfingter ani internus dan eksternus yang berkembang baik dan fungsi normal.
2. Atresia ani tipe tinggi.
Suatu keadaan dimana usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis tanpa sfingter ani internus tidak berhasil dalam menahan defikasi rektum.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan atresia ani menurut Syamsuhidayat (1997) :
1. Pemeriksaan radiologi invertogram
Yaitu tehnik pengembalian foto untuk menilai jarak pungtum distal rektum terhadap mara anus di kulit peritonium.
Pada tehnik ini, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah ) atau tiduer dengan sinar horisontal diarahkan ke tronchanter mayor sehingga dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Foto ini dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 24 jam, karena pada usia tersebut dalam keadaan normal seluruh traktus digestivus sudah berisi udara ( bayi dibalik selama 5 menit ). Invertogram ini dilakukan pada bayi tanpa fistula.
2. Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mekonium di dalamnya sehingga fistula dapat diketahui lebih dini.
I. Penatalaksanaan
Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.
7
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati- hatiterhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresi ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
Rehabilitasi dan pengobatan :
1. Melakukan pemeriksaan colok dubur
2. Melakukan pemeriksaan radiologik
pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
5. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
7. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia ( 1 tahun ) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia ( 8-12 bulan ) pendekatan sakrum setelah bayi berumur ( 6-9 bulan )
8. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through".
Manfaat kolostomi adalah antara lain:
1. Mengatasi obstruksi usus
2. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
3. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
Penatalaksanaan menurut Markum (1996) dan Syamsuhidayat (1997) :
1. Atresia ani tipe rendah
Indikasi : jika dalam pemeriksaan masih dijumpai sfingter ani internus dan eksternus serta usus bagian dorsal masih melewati musculus levator ani.
Pengelolaan : pengelolaan atresia ani tipe rendah yang dapat merupakan stenosis anus hanya membutuhkan dilatasi membran anus yang tipis, mudah dibuka segera setelah lahir.
2. Atresia ani tipe tinggi
Indikasi : jika pada pemeriksaan tidak dijumpai sfingter ani internus dan usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis.
Pengelolaan :
a. Tahap pertama ( masa neonatus).
Dilakukan tindakan operasi colostomy. Colostomy tidak boleh melewati 3 hari setelah lahir, dikhawatirkan mengancam jiwa bayi tersebut.
Tindakan operatif bertujuan untuk pengalihan feses sementara dan untuk mengoreksi deformitas rectal.
Ada 2 tempat colostomy yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversum colostomy (colostomy di kolon transversum) dan sigmoidostomi (colostomy di colon sigmoid).
b. Tahap ke dua ( usia 6-12 bulan ).
Dilakukan tindakan operasi yang bersifat definitif dengan prinsip pengobatan operatif posterior sagital anorektoplasi (PSARP). Posisi anus yang tepat di daerah sfingter eksternus dan posisi anatomi usus pada penyangga puborektal.
Jadi ini tindakan PSARP tindakan membuat anus buatan atau tindakan memperbaiki anus dan rektum supaya dapat berfungsi sebagaimana layaknya.
c. Tahap ke tiga
Tindakan operatif tahap ketiga dilakukan minimal 3 bulan setelah PSARP. Tindakan pada tahap ini adalah untuk menutup colostomy tahap pertama (operasi penutupan colostomy).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ATRESIA ANI
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Pada Anak
a. Kaji biodata pasien.
b. Tanpa mekonium dalam 24 jam setelah lahir.
c. Kaji adanya pasase mekonium.
Perhatikan bila mekonium tampak pada orifisium yang tidak tepat.
d. Kaji feses yang seperti korban pada bayi yang lebih besar atau anak kecil yang mempunyai riwayat kesulitan defekasi atau distensi abdomen.
e. Kaji adanya tinja dalam urine dan vagina.
2. Pengkajian Pada Orang Tua
a. Kaji riwayat kehamilan
b. Kaji riwayat infeksi
c. Kaji psikososial keluarga
d. Kaji pengetahuan keluarga
3. Pemeriksaan Fisik
a. Periksa keadaan anus
Adanya malformasi anorektal tidak terbentuk anus.
b. Perikasa ada atau tidaknya pistula rektovaginal dan fistula rekburetra
Pada pengkajian kperawatan pasien dengan atresia ani akan ditemukan data-data sebagai berikut :
1) Penyumbatan anus ( anus tidak normal ).
2) Adanya kembung dan muntah pada 24-28 jam setelah lahir.
3) Pada bayi laki-laki dengan fistula urinary didapatkan mekonium pada urine dan pada bayi perempuan dengan fistula urogenital ditemukan mekonium dalam vagina.
4) Pada pemeriksaan fisik ( dengan memasukkan jari kelingking dengan memakai sarung tangan atau juga dengan memasukkan thermometer sepanjang ± 2cm ) tidak ditemukan anus secara normal.
5) Adanya berbagai bentuk seperti stinosis rectum yang lebih rendah atau juga pada anus.
6) Membrane anus yang menetap.
7) Adanya fistula antara rectum dan tractus urinaria.
8) Adanya fistula antara rectum, vagina atau perineum pada perampuan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pra bedah
1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan.
b. Pasca bedah
1) Resiko infeksi berhubungan dengan trauma post op colostomy.
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam mencerna makanan.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan immobilisasi.
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.
C. INTERVENSI
Menurut NIC ; 1996 dan NOC ; 1997
a. Pra bedah
1. Dx 1 : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute abnormal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
Keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit
pasien adekuat.
NOC : Fluid Balance
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal HT normal
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Keterangan skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Fluid Management
Intervensi :
a. Timbang popok / pembalut jika diperlukan
b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
c. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik)
d. Monitor TTV
e. Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
f. Kolaborasi pemberian cairan IV
g. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
h. Tawarkan snack / jus buah segar
2. Dx 2 : Kurang pengetahuan berhubunagn dengan keterbatasan paparan
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi.
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
a. Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar.
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya.
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Teaching : Disease Process
Intervensi :
a. Jelaskan patofisiolagi dari penyakit.
b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang benar.
c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat..
d. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat.
e. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit.
c. Pasca bedah
1. Dx 1 : Resiko infeksi berhubungan dengan trauma post op colostomy.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi.
NOC : Knowledge : Infection Control
Kriteria Hasil :
a. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya.
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi.
d. Jumlah leukosit dalam batas normal.
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat.
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Infection Control
Intervensi :
a. Batasi pengunjung bila perlu.
b. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan.
c. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
d. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung.
e. Tingkatkan intake nutrisi.
f. Berikan terapi antibiotic bila perlu.
2. Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan nyeri berkurang / hilang.
NOC : Pain Control
Kriteria Hasil :
a. Mengenal faktor penyebab
b. Mengenal serangan nyeri
c. Gunakan tindakan preventif
d. Gunakan tindakan pertolongan non analgetik
e. Gunakan analgetik yang tepat
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan 4 : Sering dilakukan
2 : Jarang dilakukan 5 : Selalu dilakukan
3 : Kadang dilakukan
NIC : Pain Management
Intervensi :
a. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
b. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan.
c. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga.
d. Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab, berapa lama terjadi dan tindakan pencegahan.
e. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi.
f. Berikan analgetik sesuai anjuran.
g. Tingkatkan tidur istirahat yang cukup.
h. Monitor kenyamanan pasien terhadap management nyeri.
i. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri.
3. Dx 3 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan dalam mencerna makanan
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NOC : Nutritional Status
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan. 4 : Sering menunjukkan
2 : Jarang menunjukkan 5 : Selalu menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
NIC : Nutrition Management
Intervensi :
a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Anjurkan pasien untuk meningkat intake Fe.
c. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake protein.
d. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
e. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
f. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
4. Dx 4 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan tidak terjadi intoleransi aktivitas.
NOC : Activity Tolerance
Kriteria Hasil :
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD,Nadi,RR.
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri.
Keterangan Skala :
1 : Tidak dilakukan sama sekali. 4 : Sering dilakukan
2 : Jarang dilakukan 5 : Selalu dilakukan
3 : Kadang dilakukan
NIC : Activity Theraphy
Intervensi :
a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitas medik dalam merencanakan program terapi yang tepat.
b. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat dilakukan.
c. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas.
d. Bantu klien membuat jadwal latihan di waktu luang.
5. Dx 5 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya insisi pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Keterangan Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :
a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
b. Hindari kerutan pada tempat tidur
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
e. Monitor kulit akan adanya kemerahan
f. Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
g. Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
D. EVALUASI
1. Pra bedah
1. Dx 1
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, Bj urine normal HT normal ( skala 5 )
b. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal ( skala 5 )
c. Tidak ada tanda, dehidrasi, alstisitas turgor kulit baik, membrane mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan ( skala 5 )
2. Dx 2
Kriteria Hasil :
a. Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan ( skala 5 )
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar ( skala 5 )
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya ( skala 5 )
2. Pasca bedah
1. Dx 1
Kriteria Hasil :
a. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi ( skala 5 )
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya ( skala 5 )
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
( skala 5 )
d. Jumlah leukosit dalam batas normal ( skala 5 )
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat ( skala 5 )
2. Dx 2
Kriteria Hasil :
a. Mengenal faktor penyebab ( skala 5 )
b. Mengenal serangan nyeri ( skala 5 )
c. Gunakan tindakan preventif ( skala 5 )
d. Gunakan tindakan pertolongan non analgetik ( skala 5 )
e. Gunakan analgetik yang tepat ( skala 5 )
3. Dx 3
Kriteria Hasil :
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan ( skala 5 )
b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan ( skala 5 )
c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi ( skala 5 )
d. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi ( skala 5 )
4. Dx 4
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan ( skala 5 )
b. Tidak ada luka / lesi pada kulit ( skala 5 )
c. Perfusi jaringan baik ( skala 5 )
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang ( skala 5 )
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami ( skala 5 )
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.
Doengoes,M.E. 1999. Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Http://www.medicastore.com
Http://www.google.com
Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC) Edisi 2. St. Louis ,Missouri ; Mosby.
Mansjoer,Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aescullapius.
Markum,AH. 1999. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta : FKUI.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Nelson, Waldo. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC.
Mc Closkey, Joanner. 1996 . Iowa Intervention Project Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi 2. Westline Industrial Drive, St. Louis :Mosby.
Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA . Jakarta : Prima Medika.
Wong, Donna L.2003.Pedoman klinis Keperawatan Pediatrik.Jakarta : EGC
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda Copy-paste di blog or web teman-teman semua, Jangan Lupa di Like or commentnya ya...
Terima kasih