A. Konsep Dasar
1.
Pengertian
Maligna Prostat Hiperplasi ( MPH ) adalah pembesaran ganas kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang bersifat ganas yang
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr.
Sutomo, 1994 : 1993 ).
2.
Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya MPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen.
Faktor lain yang erat kaitannya dengan MPH maupun BPH adalah proses penuaan.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa
hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain :
1).
Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2).
Perubahan keseimbangan
hormon estrogen -
testoteron
Pada proses penuaan
pada pria terjadi
peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi
stroma.
3).
Interaksi stroma
- epitel
Peningkatan epidermal gorwth
factor atau fibroblast
growth factor dan
penurunan transforming growth
factor beta menyebabkan
hiperplasi stroma dan
epitel.
4).
Berkurangnya sel
yang mati
Estrogen yang meningkat
menyebabkan peningkatan lama
hidup stroma dan
epitel dari kelenjar
prostat.
5).
Teori
sel stem
Sel stem yang
meningkat mengakibatkan proliferasi
sel transit ( Roger
Kirby, 1994 : 38 ).
Penatalaksanaan
Modalitas terapi
MPH adalah :
1).
Watchful (observasi)
Yaitu pengawasan berkala
pada klien setiap
3 – 6 bulan kemudian
setiap tahun tergantung
keadaan klien
2).
Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan
pada MPH dengan
keluhan ringan, sedang,
dan berat tanpa
disertai penyulit serta indikasi
terapi pembedahan tetapi
masih terdapat kontraindikasi atau
belum “well motivated”
Obat yang digunakan
berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),
gelombang alfa blocker
dan golongan supresor
androgen. Pada Keganasan diberikan obat-obat Antineoplasma seperti
Oncovin.
3).
Pembedahan
Dilakukan pada :
a).
Klien
yang mengalami retensi
urin akut atau
pernah retensi urin
akut.
b).
Klien
dengan residual urin > 100
ml.
c).
Klien
dengan penyulit.
d).
Terapi
medikamentosa tidak berhasil.
e).
Flowmetri menunjukkan
pola obstruktif.
B. Asuhan Keperawatan
Data yang
perlu dikumpulkan dari
klien meliputi :
1).
Identitas klien
Merupakan biodata klien
yang meliputi :
nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku
bangsa / ras, pendidikan, bahasa
yang dipakai, pekerjaan,
penghasilan dan alamat.
Jenis kelamin dalam
hal ini klien
adalah laki -
laki berusia lebih
dari 50 tahun
dan biasanya banyak
dijumpai pada ras
Caucasian (Donna, D.I,
1991 :
1743 ).
2).
Keluhan utama
Keluhan utama
yang biasa muncul
pada klien MPH
pasca TURP adalah nyeri
yang berhubungan dengan
spasme buli -
buli. Pada saat
mengkaji keluhan utama
perlu diperhatikan faktor
yang mempergawat atau
meringankan nyeri ( provokative / paliative
), rasa nyeri
yang dirasakan (quality),
keganasan / intensitas ( saverity
) dan
waktu serangan, lama,
kekerapan (time).
3).
Riwayat penyakit
sekarang
Kumpulan gejala yang
ditimbulkan oleh MPH
dikenal dengan Lower
Urinari Tract Symptoms
( LUTS ) antara lain : hesitansi,
pancar urin lemah,
intermitensi, terminal dribbling,
terasa ada sisa
setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi
dan disuria (Sunaryo, H,
1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai
permulaan timbulnya keluhan,
hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui
pula bahwa munculnya
gejala untuk pertama
kali atau berulang.
4).
Riwayat penyakit
dahulu
Adanya riwayat penyakit
sebelumnya yang berhubungan
dengan keadaan penyakit
sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus,
Hipertensi, PPOM, Jantung
Koroner, Dekompensasi Kordis dan
gangguan faal darah
dapat memperbesar resiko
terjadinya penyulit pasca
bedah ( Sunaryo, H,
1999 : 11,
12, 29 ). Ketahui
pula adanya riwayat penyakit saluran
kencing dan pembedahan
terdahulu sera adanya tumor pada organ lain serta pembesaran kelanjar
lainnya
5).
Riwayat penyakit
keluarga
Riwayat penyakit pada
anggota keluarga yang
sifatnya menurun seperti
: Hipertensi, Diabetes
Mellitus, Asma perlu
digali. Disamping itu riwayat adanya tumor/kanker perlu mendapat
perhatian serius
6)
Pola – pola fungsi
kesehatan
a).
Pola
persepsi dan tata
laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan
kesehatan karena tirah
baring selama 24
jam pasca TURP. Adanya
keluhan nyeri karena
spasme buli - buli memerlukan penggunaan anti
spasmodik sesuai terapi
dokter (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
b).
Pola
nutrisi dan metabolisme
Klien yang
di lakukan anasthesi
SAB tidak boleh
makan dan minum
sebelum saluran cerna baik
c).
Pola
eliminasi
Pada
klien dapat terjadi
hematuri setelah tindakan
TURP. Retensi urin
dapat terjadi bila
terdapat bekuan darah
pada kateter. Sedangkan
inkontinensia dapat terjadi
setelah kateter di
lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
d).
Pola
aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas
karena kondisi klien
yang lemah dan
terpasang traksi kateter
selama 6 – 24 jam.
Pada paha yang
dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi
selama traksi masih
diperlukan.
e).
Pola
tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan
perubahan situasi karena
hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur
dan istirahat.
f).
Pola
kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran,
Pengecap, peraba dan
Penghidu tidak mengalami
gangguan pasca TURP.
g).
Pola
persepsi dan konsep
diri
Klien dapat mengalami
cemas karena ketidaktahuan
tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP.
h).
Pola
hubungan dan peran
Karena klien harus
menjalani perawatan di
rumah sakit maka
dapat mempengaruhi hubungan
dan peran klien
baik dalam keluarga
tempat kerja dan
masyarakat.
i).
Pola
reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi
retrograd ( Sunaryo, H, 1999
: 36
j).
Pola
penanggulangan stress
Stress dapat dialami
klien karena kurang
pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres
pada klien dan
mekanisme koping klien
terhadap stres tersebut.
6).
Pemeriksaan penunjang
a).
Laboratorik
Setiap penderita pasca TURP harus di
cek kadar hemoglobinnya dan perlu
diulang secara berkala
bila urin tetap merah
dan perlu di periksa ulang bila
terjadi penurunan tekanan darah
dan peningkatan nadi.
Kadar serum kreatinin juga perlu
diulang secara berkala
terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat.
Kadar natrium serum
harus segera diperiksa
bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda septisemia
harus diperiksa kultur
urin dan kultur
darah ( Tim Keperawatan
RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
b).
Uroflowmetri
Yaitu
pemeriksaan untuk mengukur
pancar urin. Dilakukan setelah kateter
dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah
RSUD dr.
Soetomo, 1994 : 114).
Diagnosa keperawatan
Berdasarkan
analisa data yang
diperoleh maka dapat
dirumuskan diagnosa keperawatan
pada klien MPH sebagai
berikut :
1).
Nyeri
( akut ) berhubungan dengan
iritasi mukosa buli–buli : reflek spasme
otot sehubungan dengan
penekanan prostat
(
Marilynn, E.D, 2000 : 683
)
2).
Resiko
tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan kateter
di buli – buli.
3).
Kurang
pengetahuan yang berhubungan
dengan kurang informasi
tentang rutinitas pasca
operasi, gejala untuk
dilaporkan, perawatan di
rumah dan intruksi
evaluasi .
( Susan, M .
T, 1998
: 609,610 )
7).
Retensi urin
berhubungan dengan obstruksi urin
8).
Resiko tinggi disfungsi seksual
berhubungan dengan kondisi penyakit.
(Barbara, C.L, 1996: 339,341)
Retensi urin berhubungan
dengan obstruksi sekunder terhadap penekanan praostat
1).
Tujuan
Retensi urin teratasi.
2).
Kriteria hasil
Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku peningkatan kontrol
buli-buli.
3).
Rencana tindakan
dan rasional
a).
Awasi
masukan dan haluaran
serta karakteristiknya.
Rasional:
deteksi dini terjadinya
retensi urin.
b).
Kolaborasi dalam
mempertahankan irigasi secara
konstan selama 24
jam pertama.
Rasional: mencuci
buli-buli dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi
kateter / aliran urin.
c).
Dorong pemasukan
3000 ml / hari sesuai
toleransi.
Rasional: mempertahankan hidrasi
adekuat dan perfusi
ginjal untuk aliran
urin.
d).
Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala
retensi.
Rasional:
deteksi dini terjadinya
retensi.
b.
Resiko
tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan kateter di buli - buli.
1).
Tujuan
Infeksi dicegah.
2).
Kriteria hasil
Mencapai waktu penyembuhan,
tidak mengalami tanda
infeksi.
3).
Rencana tindakan
dan rasional
a).
Pertahankan sistem
kateter steril, berikan
perawatan kateter reguler
dengan sabun dan
air, berikan salep
antibiotik disekitar sisi
kateter.
Rasional: mencegah
pemasukan bakteri dan
infeksi / sepsis lanjut.
b).
Ambulasi dengan
kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat
memasukkan bakteri ke
dalam buli - buli.
c).
Awasi
tanda dan gejala
infeksi saluran perkemihan.
Rasional:
mendeteksi infeksi sejak
dini.
d).
Berikan antibiotik
sesuai indikasi.
Rasional: kemungkinan diberikan secara
profilaktik berhubungan dengan
peningkatan resiko pada
prostatektomi.
c.
Nyeri
(akut) berhubungan dengan
iritasi mukosa buli-buli: reflek spasme
otot sehubungan dengan
prosedur bedah dan / atau
tekanan dari traksi.
1).
Tujuan
Nyeri
hilang / terkontrol.
2).
Kriteria hasil
Klien melaporkan
nyeri hilang /
terkontrol, menunjukkan ketrampilan
relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi
untuk situasi individu.
Tampak rileks, tidur /
istirahat dengan tepat.
3).
Rencana tindakan dan
rasional
a)
Kaji nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas ( skala
0 - 10 ).
Rasional: nyeri tajam,
intermitten dengan dorongan
berkemih / masase
urin sekitar kateter
menunjukkan spasme buli-buli,
yang cenderung lebih berat
pada pendekatan TURP (
biasanya menurun dalam
48 jam ).
4).
Pertahankan patensi kateter
dan sistem drainase.
Pertahankan selang bebas
dari lekukan dan
bekuan.
Rasional: mempertahankan fungsi
kateter dan drainase
sistem, menurunkan resiko
distensi / spasme
buli - buli.
5). Tingkatkan pemasukan
sampai 3000 ml/hari
sesuai toleransi.
Rasional:
menurunkan iritasi dengan
mempertahankan aliran cairan
konstan mukosa buli - buli.
6).
Berikan tindakan
kenyamanan ( sentuhan terapeutik,
pengubahan posisi, pijatan
punggung ) dan aktivitas terapeutik.
Dorong tehnik relaksasi
termasuk latihan napas
dalam, visualisasi dan
pedoman imajinasi.
Rasional: menurunkan
tegangan otot, memfokusksn
kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan
koping.
7).
Berikan rendam
duduk atau lampu
penghangat bila diindikasikan.
Rasional: meningkatkan perfusi
jaringan dan perbaikan
edema serta meningkatkan
penyembuhan ( pendekatan perineal ).
8).
Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik, contoh:
Oksibutinin
klorida ( Ditropan ), B dan
O supositoria.
Rasional:
relaksasi otot, untuk
menurunkan spasme dan
nyeri.
Propanteli
bromida ( Pro-Bantanin ).
Rasional:
menghilangkan spasme buli-buli
oleh kerja antikolinergik. Biasanya
dihentikan 24-48 jam
sebelum perkiraan pengangkatan
kateter untuk meningkatkan
kontrol kontraksi buli-buli.
d.
Kurang
pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan
di rumah dan
intruksi evaluasi.
1).
Tujuan
Meningkatkan pengetahuan klien.
2).
Kriteria hasil
Klien dan / atau
keluarga mengungkapkan mengerti
tentang rutinitas pasca
operasi, gejala yang harus
dilaporkan, perawatan di
rumah, intruksi evaluasi
serta demonstrasi ulang
perawatan kateter dan
latihan perineal.
3).
Rencana tindakan
dan rasional
a).
Pertegas perlunya
asupan cairan oral
yang adekuat 3000 ml / hari kecuali
kontra indikasi.
Rasional: hidrasi yang
optimal membantu menegakkan
kembali tonus otot
buli – buli setelah pencabutan
kateter dengan merngsang
miksi, pengenceran urin dan
menurunkan kerentanan infeksi
saluran kemih dan
pewmbentukan bekuan darah.
b).
Ajarkan perawatan
kateter :
(a).
Cuci
meatus urinarius dengan
sabun dan air
2x / hari.
(b).
Tingkatkan frekuensi
pembilasan jika tampak jelas
drainase di sekitar
tempat pemasangan kateter.
Rasional:
membantu mengurangi resiko
infeksi saluran kencing.
c).
Pertegas pembatasan
aktivitas antara lain:
(1).
Hindari mengedan
saat BAB, tingkatkan
asupan diit tinggi
serat atau gunakan
pencahar jika ada
indikasi.
(2).
Jangan
gunakan supositoria atau
enema.
(3).
Hindari duduk
dengan kaki tergantung.
(4).
Hindari mengangkat
benda berat dan
aktivitas yang berat.
(5).
Hindari hubungan
seksual hingga diperbolehkan ( biasanya
6 - 8 minggu setelah
pembedahan ).
Rasional:
mengurangi resiko perdarahan
internal.
d).
Anjurkan klien
melakukan hal berikut:
(1).
Berjalan lama.
(2).
Menggunakan tangga.
Rasional: aktivitas
ini tidak menghalangi
penyembuhan tempat pembedahan.
e).
Jelaskan harapan
untuk mengontrol urin
ketika dicabut:
(1).
Tetesan, frekuensi,
urgensi mungkin terjadi
pada awal tetapi
secara bertahap.
(2).
Latihan perineal
( bokong tegang, tahan
dan lepaskan selama
10 - 20 menit tiap
jam ) dapat membantu mempercepat
memulihkan kontrol urin.
(3).
Lakukan latihan
sesuai toleransi, hindari
latihan yang membutuhkan
kekuatan otot dan
rencanakan waktu istirahat
sering.
(4).
Berkemih sesegera
mungkin, mencegah retensi
urin.
(5).
Menghindari kafein
dan alkohol dapat
membantu mencegah masalah.
(6).
Hematuri transien
adalah normal dan
seharusnya menurun dengan
peningkatan asupan cairan.
Rasional: Kesukaran
untu melanjutkan pola
miksi normal dapat
berhubungan dengan trauma
leher buli-buli, ISK,
atau iritasi kateter.
Drainase akan menurunkan
kontrol otot. Kafein
sebagai diuretik ringan
membuatnya lebih sukar
mengontrol urin. Alkohol
meningkatkan sensasi terbakar.
f).
Diskusikan nama
obat, dosis, jadwal
penggunaan, tujuan dan efek samping.
Rasional:
klien mengetahui nama,
dosis, jadwal, tujuan dan efek
samping obat yang
diresepkan.
g). Tinjau
tanda dan gejala
komplikasi:
(1). Ketidakmampuan berkemih
lebih dari 6 jam.
(2). Menggigil, nyeri
punggung dan demam.
(3). Peningkatan hematuri.
Rasional: deteksi
awal memungkinkan intervensi
cepat untuk meminimalkan
keparahan komplikasi.
(a). Ketidakmampuan berkemih
menunjukkan ISK.
(b). Merupakan gejala
ISK.
(c). Adanya
perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
Alif, S.,
1995. Benigne Prostate Hiperplasia, Makalah.
Surabaya.
Doenges, M.E., Marry, F..M and
Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
1999. Maligna Prostat
Hiperplasi. Surabaya, Airlangga
University Press.
Ignatavicus, D.D
and Marilyn, F.B., 1991.
Medical Surgical Nursing : A Nursing Procces
Approach. International
Edition. Philadelpia, W.B
Saunders Company.
Kirby,
R, John F.P, Michael, K,
Andrew, F.P and Louis, J.D., 1994. Shared Care For Prostatic
Disease. Oxford, ISIS Medical
Media.
Long, B.C., 1996. Perawatan
Medikal Bedah : Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan.
Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Lab / UPF
Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis
Dan Terapi. Surabaya,
Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Surabaya
Post. Tanggal 7 Juni 2001. Hal.
20. Kolom 2, MPH,
Pembesaran Prostat Yang
Tak Terelakkan.
Tucker, S.M.,
Marry, M.C, Eleanor, V, Paquette,
M and
Fyfe, W., 1998. Standar
Perawatan Pasien : Proses
Keperawatan, Diagnosis Dan
Evaluasi. Volume III.
Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Tim
Keperawatan RSUD. dr.
Soetomo, 1997. Standar Asuhan
Keperawatan Penyakit Bedah. Surabaya, Bidang Perawatan
RSUD. Dr. Soetomo.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda Copy-paste di blog or web teman-teman semua, Jangan Lupa di Like or commentnya ya...
Terima kasih