Home » , » PENDIDIKAN DAN PENGASUHAN ANAK DENGAN PERSPEKTIF JENDER

PENDIDIKAN DAN PENGASUHAN ANAK DENGAN PERSPEKTIF JENDER

Oleh Maria Ulfah Anshor

Pendahuluan
Anak adalah merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan manusia, karena pada masa anak-anaklah sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang bersumber dari fungsi otak maupun emosionalnya. Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa kanak-kanaknya. Dengan kata lain, kondisi seseorang di masa dewasa adalah merupakan hasil dari proses pertumbuhan yang diterima di masa anak-anak. Adapun faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan anak adalah orang tua, sekolah dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam konteks pendidikan anak yang berperspektif jender, ketiga faktor penentu tersebut harus terpadu dan bersinergi dalam menanamkan nilai-nilai keadilan jender. Karena pendidikan jender tidak cukup hanya diberikan oleh orang tua di rumah, atau sebaliknya hanya diberikan di sekolah, tetapi harus bersama-sama ada kemauan untuk menanamkan nilai-nilai adil jender.

Begitu juga di lingkungan masyarakatnya harus disadarkan agar tidak membeda-bedakan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Jika tidak demikian, maka proses konstruksi sosial yang berkeadilan jender akan memakan waktu yang sangat lama, dan kepribadian sensitif jender yang sudah terbentuk di dalam keluarga akan mudah terpengaruh lagi dengan lingkungannya yang tidak sensitif jender. Hal tersebut dikarenakan kondisi kepribadian anak yang belum matang sangat mudah berubah maupun dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang ada di luar dirinya maupun lingkungannya.

Di dalam melakukan pendidikan dan pengasuhan anak yang berperspektif jender, dimensi lain yang juga sangat penting adalah memperhatikan hak-hak anak sesuai dengan tahap tumbuh kembang anak. Indonesia sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi Konvensi Hak Anak, maka konsekwensinya di dalam pendidikan dan pengasuhan anak baik di dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat harus mengacu pada  konvensi tersebut. Selain itu, harus mengacu juga pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (Bab I pasal 1.2).
Pengertian Anak dan Hak-Hak Anak
Menurut Konvensi hak Anak maupun, pengertian anak adalah dibatasi pada usia sebelum 18 tahun, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 berikut : “setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”[1] Begitu juga menurut Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) pasal 1.1. Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orang tua mengasuh dan mendidik anak-anaknya sampai dengan mereka berusia 18 tahun. Setelah usia tersebut diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga tidak lagi menjadi tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan psikis seringkali masih bergantung pada orangtuanya karena kedewasaaannya belum matang.

Dalam konteks pengasuhan dan perlindungan anak, orangtua dan keluarga mempunyai peran sentral, karena anak sangat tergantung pada orang dewasa. Bagi anak yang memiliki orang tua, pengasuhan anak menjadi tanggung jawab orangtuanya, tetapi bagi anak yang dalam kondisi tertentu tidak memiliki orangtua, maka negara berkewajiban mencarikan keluarga alternatif melalui hukum adopsi atau lembaga asuh pengganti keluarga agar mereka dapat berkembang sebagaimana layaknya anak-anak yang hidup dalam keluarganya yang asli.

Setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. ketidakadilan;  dan f. perlakuan salah lainnya[2].
 
Pasal-pasal yang berkaitan dengan lingkungan keluarga dan pengasuhan anak dalam Konvensi Hak Anak adalah pasal 5, 18 (ayat 1-2), pasal 9-11, pasal 19-21, pasal 25, pasal 27 ayat 4 dan pasal 39. isi dari pasal-pasal tersebut berkaitan dengan tanggung jawab orangtua, bimbingan orangtua, hak anak yang terpisah dari orangtuanya, hak anak untuk berkumpul dengan keluarganya, perlindungan terhadap pengambil alihan anak secara ilegal, pemulihan pemeliharaan anak, adopsi, dan perlindungan dari kekerasan dan penelantaran anak dalam keluarga.

Anak-anak supaya dapat berkembang secara baik membutuhkan pendidikan, pelatihan maupun pendidikan keterampilan, serta rekreasi dan kegiatan seni-budaya. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan anak adalah pasal 28, 29 dan 31. Pasal 28 menyatakan bahwa negara akan menyediakan pendidikan dasar wajib bagi semua anak secara cuma-cuma, termasuk berbagai fasilitas pendidikan. Pasal 29 berisi arah pendidikan bahwa pendidikan diarahkan pada pengembangan kepribadian anak, bakat dan kemampuan mental dan fisik, hingga mencapai potensi yang optimal. Pasal 31 ayat 1, Negara-negara peserta sepakat mengakui hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi sesuai dengan usianya. Ayat 2, negara-negara peserta sepakat untuk menghormati dan meningkatkan hak anak untuk turut serta sepenuhnya dalam kehidupan budaya dan seni dan akan mendorong pengadaan peluang yang layak dan sama untuk kegiatan seni, budaya, santai dan rekreasi.     

Prinsip Pengasuhan dan Pendidikan Anak Dalam Islam


Di dalam tradisi masyarakat maupun secara normatif orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik dan mengasuh anak-anaknya seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Perintah tersebut sangat beralasan karena kualitas sumberdaya manusia di muka bumi ini sangat ditentukan oleh faktor pendidikan dasar yang diberikan oleh orangtuanya. Anak-anak yang diasuh secara baik dan dibekali dengan pendidikan yang memadai diharapkan akan menjadi anak yang baik (shalih/shalihah), dan setelah dewasa menjadi orang-orang yang beruntung, berguna bagi bangsa dan agamanya.

Karena dengan bekal ilmu yang bermanfaat yang dimilikinya, seseorang dapat melakukan banyak hal yang jauh lebih baik dan bermartabat dibanding dengan orang yang tidak memiliki ilmu. Begitu juga dalam pandangan agama (Islam), peran orangtua sangat penting dalam menentukan masa depan anaknya. Pernyataan Nabi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menganalogkan peran orangtua terhadap agama yang dianut anaknya sebagai berikut : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang membuat Yahudi, Nasrani, atau Majusi” 

Dalam hal Pendidikan, Tuhan menjanjikan bahwa orang-orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam Q.S al-Mujadalah/ 58:11: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) di antara kamu dan mereka yang berilmu (laki-laki dan perempuan) beberapa derajat”. Atas dasar kebutuhan dan jaminan tersebut menjadi logis kalau kemudian Nabi pun memotivasi kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu. Di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang muslim laki-laki dan perempuan[3]. Begitu juga dari kalangan ahli hikmah, di antaranya ada yang mengatakan: “Carilah ilmu sejak masih dalam buaian hingga ke liang kubur (meninggal)”, “carilah ilmu meskipun harus ke negeri Cina”. 

Pola Pendidikan dan Pengasuhan Anak yang Berperspektif Jender
Pola pendidikan yang berperspektif jender adalah suatu model pendidikan non seksis yang mewarnai semua proses pendidikan dengan menanamkan pemahaman bahwa jender feminin dan jender maskulin memiliki nilai yang sama dan sama pentingnya dalam kehidupan sosial. Pendidikan non seksis ini harus dimulai sejak anak-anak masih kecil bahkan sejak bayi. Ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan dalam menerapkan pola pendidikan yang adil jender, antara lain :

a. Non Seksis
Orang tua hendaknya tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan. Mulailah dari hal-hal yang kecil, misalnya pilihan warna, pilihan mainan dan sebagainya tidak disosialisasikan kepada anak secara stereotipe. Selama ini, anak-anak sejak lahir sudah dikonstruksikan dengan pilihan-pilihan yang stereotipe misalnya pemilihan warna untuk perempuan berbeda dengan laki-laki, begitu juga gambar-gambar atau motif-motif pakaian dan selimut anak serta perlengkapan lainnya dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Motif-motif binatang untuk anak laki-laki dan motif bunga atau dedaunan untuk anak perempuan. Begitu juga dalam hal jenis mainan, sudah diberikan stereotipe mainan laki dan perempuan, padahal anak-anak belum tentu menyukai jenis stereotipe yang diberikan orang tuanya. Tetapi karena dikondisikan dan masyarakat di sekitarnya juga turut melanggengkan, maka anak-anak dengan sendirinya mengikuti konsep jender yang sudah berlaku di lingkungannya.

Setelah anak mulai kenal dengan lingkungannya, berikan kebebasan kepada anak perempaun dan laki-laki untuk tumbuh dan mengekploitasi keingintahuannya. Hentikan kebiasaan mensosialisasikan nilai-nilai bahwa perempuan harus dengan kepribadian yang feminin (lemah lembut, halus, penyayang, cengeng dan sebagainya) dan laki-laki dengan kepribadian maskulin (berani, tegas, kekar, kuat, tidak boleh nangis dan sebagainya). Kedua nilai kepribadian tersebut harus diperkenalkan kepada setiap anak sejak dini supaya anak terlatih dengan kepribadian yang adil jender.  

Pendidikan dengan pendekatan non seksis selain dimulai dari keluarga, di sekolah juga guru-guru hendaknya menerapkan kurikulum dan perlakuan terhadap anak didik secara non seksis. Begitu juga di dalam masyarakat, harus diciptakan struktur yang menghargai semua peran adalah sama, pekerjaan domestik maupun pekerjan publik dapat dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Model pendidikan dengan menanamkan nilai-nilai adil jender ini harus diberikan kepada anak secara terpadu baik di dalam keluarga, di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.      

b. Menumbuhkan sikap kritis pada anak.
Biasakan kepada anak sejak dini untuk diajak mempertanyakan hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakannya dan  berikan jawaban sesuai dengan logika berfikir sesuai dengan usia dan kondisi anak.
c. Tidak diskriminatif
Orang tua, guru maupun masyarakat hendaknya tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, supaya anak-anak terbiasa bertingkah laku dan berbuat secara egaliter. Anak-anak diperkenalkan pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa membeda-bedakannya.
d. Demokratis
Sikap demokratis sangat penting dalam pengasuhan anak supaya anak merasa dihargai dan memiliki konsep diri yang matang. Berikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya dan orang tua maupun guru mendengarkan apa yang diungkapkan anak, kemudian memusyawarahkannya secara bersama-sama. Tanamkan kepada anak bahwa berbeda pendapat tidak berarti salah, tapi harus saling menghargai perbedaan maupun pendapat orang lain.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di My Documentku

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda Copy-paste di blog or web teman-teman semua, Jangan Lupa di Like or commentnya ya...
Terima kasih

 
© 2010-2012 My Documentku