A. Pengertian
Abses
adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga
(rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al,
1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah
infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri,
jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah
kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan
jaringan.
Berdasarkan beberapa
pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal merupakan
kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat.
B. Penyebab / Faktor Predisposisi
Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain:
1. Infeksi mikrobial
Salah
satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik
yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses
radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding
sel.
2. Reaksi hipersentivitas
Reaksi
hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan
merusak jaringan.
3. Agen fisik
Kerusakan
jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik,
ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih
(frosbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan
kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses
radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan
kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran
darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan
oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan
terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan
stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark
sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
C. Gambaran Klinik
Smeltzer,
S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri
tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa
manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan
suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al,
2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak,
terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan,
kehangatan meningkat disekitar luka, warna merah jelas pada kulit
disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil atau demam (lebih
dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).
D. Anatomi / Patologi
Rassner
et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus
adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping
epidermis dan dermis. Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium)
dan fasia tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif tebal.
Rassner
et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak,
jaringan ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir
menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh darah) dan ini semua
diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa)
mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan
bertindak sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam
subkutis masuk folikel, rambut dan kelenjar keringat sebagai adneksa
kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-vena besar (misalnya vena
saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening
regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai
termoisolasi, depo energi (penimbunan lemak), fungsi pelindung dari
faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan penggeser antara korium
dan fasia tubuh).
Nadesul, H
(1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh
darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan
kulit. Melalui aliran darah, zat makanan dan zat asam disalurkan
kelenjar getah bening membuat zat anti. Maksudnya untuk melindungi tubuh
dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar
lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab.
Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir
penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga
berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.
Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat perubahan-perubahan berikut:
1. Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.
2. Kerusakan:
atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis
jaringan lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan
lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis
jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)
3. Peradangan:
secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis
terutama dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa
jaringan ikat (panikulitis septal)
Proses
penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah
subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et
al, 1995: 256).
E. Proses Penyembuhan Luka
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000 : 397) mengemukakan proses penyembuhan luka sebagai berikut:
1. Fase
Inflamasi atau lag fase. Berlangsung sampai hari kelima. Akibat luka
terjadi perdarahan. Ikut keluar trombosit dan sel sel radang. Trombosit
mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam
amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding
pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi
vasokontriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar dari
pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara
kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang
meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema.
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga disebut fase tertinggal (lag fase)
2. Fase
proliferasi atau fibroplasi. Berlangsung dari hari keenam sampai dengan
3 minggu. Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas yang
berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida
dan serat kolagen, yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin dan
hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen
yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel
radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru ;
membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan
granulasi.
3. Fase
Remodelling atau fase resorpsi. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan
berakhir bila tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna
pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal.
F. Patofisiologi
Sjamsuhidajat
et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke dalam
tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan
toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri
melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang
secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang
ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi
bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya
atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan
agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan
kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk
terjadi infeksi.
Price, S.A et
al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu
penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda
pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat
dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan
aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan
dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood,
J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi
secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag
mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga
produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C, 1995:
647-648).
Underwood, J.C.E (1999:
234-235) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi perubahan diameter
pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian
aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati
dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini
memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal
terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya
aliran darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke
dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah
akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik
sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang
merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi
jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan
rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk
bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan
ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor
mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya
edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami
penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.
Sjamsuhidajat
et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama
masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa
diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai
terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel
fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul
dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh
yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus
menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis
debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler
untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi.
Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase
penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila
pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi
kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang
tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989:
21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di
insisi dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995:
94).
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan anda Copy-paste di blog or web teman-teman semua, Jangan Lupa di Like or commentnya ya...
Terima kasih